Jumat, 02 Januari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
MEMOTRET INFORMASI, BERITA, DAN OPINI Dari Pemberitaan Berbagai Media,Jurnalis, Hingga Tayangan Layar Kaca Untuk Berbagi informasi
Jurnalistik televisi merupakan paduan media komunikasi gambar (visual) dan suara (audio). Karena medium komunikasinya adalah gambar dan suara, dengan sendirinya terdapat perbedaan yang cukup tajam antara jurnalistik media cetak (print media) dan jurnalistik media radio (audio). Secara umum perbedaan itu terdapat pada :
Cara-cara pengumpulan data (news gathering) media televisi harus selalu on the spot. No pictures, no news. Dalam hal tertentu words must less than pictures. Implikasinya adalah pada kesempatan atau mobilitas kru televisi harus lebih tinggi dari media jenis lainnya untuk menjamin keseketikaan sebuah berita disajikan kepada penonton.
Penggunaan bahasa yang berbeda. Media televisi selalu menggunakan bahasa tutur, bahas lisan dengan segala implikasinya. Ada ahli yang menyebutnya sebagai bahasa gambar. Para broadcaster harus paham benar bahwa mereka menulis berdasarkan gambar, write to pictures, atau bertutur tentang gambar. Dan, seperti yang sering terjadi, bukan menempelkan gambar pada kata-kata yang lebih dulu ditulis.
Jika dalam waktu 2-3 tahun ke depan insan-insan televisei belum bisa menghasilkan video jurnalis yang multi skill dapat dipastikan tuntutan kerja tim di televisi jauh lebih berat daripada tuntutan kerja tim di media cetak maupun radio. Setidaknya, untuk mengejar satu atau dua berita televisi masih menuntut kerjasama harmonis antara reporter-camera person-dan driver. Tidak terbayangkan jika salah satu di antara ketiganya macet, ngambek, terlambat atau terganggu soal-soal teknis lainnya. Jika dirangkai dengan proses kerja berikutnya, hingga sampai ke layer, dapat dibayangkan, salah satu kerumitan terbesar dalam kerja televisi adalah mengelola tim yang benar-benar efektif. Salah satu dalil kerja di televisi adalah keberhasilan mengelola persiapan tim sudah menjadi jaminan 70 persen sukses siaran berita televisi.
Secara umum mekanisme kerja di sebuah news room televise sama dengan isi mekanisme kerja di sebuah media cetak maupun radio. Dengan sedikit varian yang berbeda antara satu news room dari news room lainnya, rangkaian kerja di televisi meliputi tiga aktivitas pokok. Pertama, aktivitas news gathering. Kedua, aktivitas news production, dan ketiga, aktivitas news presenting.
Tidak perlu dijelaskan lagi secara panjang lebar disini mengenai proses news gathering televisi di sini karena para prinsipnya tidak ada perbedaan yang sangat mencolok dengan mekanisme news gathering media cetak maupun radio.
Hanya satu hal yang memang sangat perlu ditekankan bahwa dalam mekanisme news gathering televisi perencanaan yang dilakukan oleh para assignment editors agak berbeda dengan perencanaan yang dilakukan oleh para koordinator reporter media cetak maupun radio misalnya.
Derivasi teknis yang sangat berbeda itu adalah bahwa ketika sebuah kru televise turun ke lapangan, assignment antara gambar dan berita haruslah sinkron. Ekstrimnya, seorang assisgment editor harus memerintahkan krunya lebih penting untuk segera mendapatkan gambar ketimbang talking newsnya. Karena itu pada ekstrim yang lain, ketika pulang dari lapangan, seorang produser/eksekutif produser televisi tidak akan menanyakan “berita apa yang akan dibawa oleh kru dari lapangan” tetapi “ gambar apa yang anda bawa dari lapangan ?” pertanyaan ini mengindikasikan betapa gambar jauh lebih penting nilainya bagi televisi daripada kata-kata. News Value Judgment nya sangat tergantung pada seberapa penting, seberapa menarik, seberapa dramatis, dan seberapa kuatnya magnitude gambar yang diperoleh kru di lapangan. Itu pula yang menjelaskan mengapa sebuah atau beberapa berita yang tampak diutamakan penayangannya oleh Televisi belum tentu diutamakan oleh media cetak atau sebaliknya.
Hal yang karakteristik televisi adalah News Productionnya yang harus menggunakan bahasa tutur, bahasa gambar, menuliskan tentang gambar dan atau melaporkan tentang gambar. Tentu saja penggunaan bahasa tutur ini sangat banyak Implikasinya, terutama karena harus benar-benar Sinc (baca sinkron) antar gambar dan kata-kata dan atau kalimat. Karena itu, adalah kewajiban seorang produser atau Reporter untuk ‘meneliti’ atau ‘mempreview’ gambar terlebih dahulu sebelum menulis naskah: bukan sebaliknya menulus naskah dulu lalu ditempel-tempel gambar.
Kalau kita coba tengok dictionary untuk mencari arti kata "stringer", di situ akan ditemukan berbagai arti. Mulai dari "pengupas", "balok", sampai pada arti yang berhubungan dengan media massa. "Stringer", dalam lingkup dunia jurnalistik, dimaksudkan sebagai wartawan lepas atau pencari berita yang bekerja untuk sebuah media tertentu--biasanya kantor-kantor berita asing.
Jika mengacu pada kantor-kantor berita asing yang ada di Indonesia, tentu perhatian kita otomatis akan lari pada Reuters, AFP dan Jiji Press. Namun bukan berarti di media-media massa lain tidak mempekerjakan seorang stringer, hanya saja profesi ini terasa lebih dibutuhkan di kantor-kantor berita asing.
Sekarang mari kita cermati, apa sih yang dinamakan "stringer" tersebut? Stringer adalah seorang wartawan lepas, yang bekerja secara lepas di sebuah media massa tertentu. Tapi fungsinya lebih dari sekedar seorang mahasiswa jurnalistik yang bekerja part-time di sebuah media, karena seorang stringer idealnya diharapkan memiliki spesialisasi di bidang berita tertentu. Misalnya di bidang politik, bidang sosial budaya, bidang ekonomi dan sebagainya. Seorang stringer juga diharapkan memiliki jaringan dan kontak yang luas di bidang berita yang dikuasainya tersebut, hal mana yang tentunya sangat jarang dimiliki oleh seorang mahasiwa part-time yang bekerja sebagai reporter di sebuah media massa tertentu.
Ruang lingkup kerja seorang sringer adalah mengumpulkan sebanyak-banyaknya berita berkualitas yang terjadi di bidang berita yang dikuasainya tersebut, untuk kemudian dilaporkan pada media tempatnya bekerja. Sebagai contoh: seorang stringer yang ditempatkan di desk politik, dimana dia diharapkan memiliki pengetahuan, jaringan dan kontak yang luas di bidang tersebut, yang membuatnya lebih mudah menembus sumber-sumber yang berkaitan dengan berita-berita politik yang masih hangat. Stringer di desk politik ini diharapkan menjadi garda terdepan bagi berita-berita politik yang sedang hangat, semisal demonstrasi mahasiswa/ karyawan/ buruh, pemecatan seorang pejabat, berita-berita korupsi atau penggelapan dana, dan lain sebagainya.
Begitu juga dengan seorang stringer yang ditempatkan di desk kriminal, dimana dia diharapkan sebagai "orang yang pertama kali tahu" mengenai kasus-kasus kriminal yang terjadi di sekitarnya: pembunuhan, pemerkosaan, perampokan dan lain-lain. Hal yang sama terjadi pada stringer untuk desk ekonomi, sosial budaya, dan lain sebagainya.
Karena harapan yang dibebankan di pundaknya tersebut, seorang stringer biasanya datang dari kalangan reporter resmi sebuah media massa, yang bekerja dobel sebagai seorang stringer di media lainnya. Karena itu, tidak heran bila profesi ini tidak memiliki ikatan resmi yang diikuti oleh hal-hal seperti pengangkatan sebagai karyawan tetap, karena sifatnya yang "undercover". Kebanyakan stringer yang ada di kantor-kantor berita asing, biasanya sudah memiliki "jam terbang" cukup tinggi sebagai reporter, plus jaringan cukup luas dalam bidang berita yang dipegangnya.
Deskripsi kerja seorang stringer biasanya sebagai berikut: mencari dan mengumpulkan berita, untuk kemudian dilaporkan pada media tempat ia bekerja sebagai seorang stringer melalui telepon. That's it. Cukup simpel bukan? Namun di beberapa media, seorang stringer juga diharapkan menulis berita yang didapatnya di lapangan, seperti kantor pusat Jiji Press di Singapura, misalnya.
Seorang stringer dibayar berdasarkan berita yang didapatnya di lapangan. Bila dalam satu hari ia mendapatkan 3-4 berita eksklusif atau layak muat, sebanyak itulah ia akan dibayar. Mengenai berapa penghargaan yang didapat untuk satu berita, tidak terdapat jumlah yang saklek yang berlaku di seluruh media atau kantor berita yang mempekerjakan seorang stringer. Hal ini sangat relatif, tergantung di media mana ia bekerja. Untuk kantor berita asing, stringer ada yang dibayar dengan dolar, tapi ada juga yang dijumlahkan dalam rupiah. Menurut sumber kami, biasanya, bila ditarik garis rata-rata, untuk satu berita yang layak muat, dihargai sekitar Rp. 200-000 sampai Rp. 300.000. Itu untuk stringer yang sudah senior. Untuk yang masih merintis atau masih baru, tentunya di bawah jumlah tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar