Sabtu, 30 Agustus 2008

Wartawan Harus Bangun Kedamaian


Banyaknya kekerasan yang menyeruak di penjuru dunia dan Tanah Air telah membuat buruk wajah dunia. Namun, penyalahgunaan sentimen agama dan etnis sebagai mobilisasi politik dalam situasi konflik dapat makin memperburuk perdamaian dunia. Dalam situasi ini, media harusnya bisa turut membangun kedamaian.
Hal ini disampaikan Ketua Panitia Pengarah the Second World Peace Forum Rizal Sukma di Jakarta.
"Kekerasan dalam konteks agama dan etnis ini dapat melanggengkan sikap permusuhan antarmasyarakat, antarumat agama yang berbeda, dan pada akhirnya antarperadaban," ujar Rizal.
Ia menambahkan, keterlibatan kalangan media dalam menyebarkan usaha mewujudkan perdamaian akan membantu menciptakan wajah dunia yang lebih ramah.
"Tanpa kesadaran dan kesediaan media untuk membantu mewujudkan perdamaian, konflik yang terjadi di masyarakat akan semakin menganga," ujarnya.
Di tengah ancaman besar terhadap kemanusiaan seperti saat inilah, menurut Rizal, semua manusia bertanggung jawab untuk bertindak bersama-sama memastikan bahwa perdamaian bisa melenyapkan kekerasan yang merajalela di masyarakat.
"Pertemuan World Peace ini akan menyediakan ruang dialog peradaban di antara tokoh-tokoh penting dari berbagai peradaban. Di antara tokoh itu bisa saling menjajaki cara-cara agar peradaban yang berbeda dapat bekerja sama secara lebih baik dalam menyuarakan perdamaian," ujarnya.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin mengatakan, World Peace Forum merupakan kerja sama Muhammadiyah, Centre for Dialogue and Cooperation among Civilization, dan Cheng Ho Multiculture Trust. Pertemuan yang dilaksanakan pada 24-26 Juni ini dihadiri utusan dari 43 negara.
Utusan-utusan itu antara lain Anwar Ibrahim (Malaysia), Abdullah Abdullah (Afganistan), Kardinal Jean-Louis Tauran (Vatikan), Tony Blair (Inggris), Xanana Gusmao (Timor Leste), Amr Moussa (Mesir), dan Kofi Annan (Ghana).-

Inilah Kesombongan kita



lihatlah mereka yang Menderita


mungkin mereka ada disekitar kita, namun karena kepongahan dan kesombongan kita, mata kita tertutup dengan nafsu yang tiada henti. RASAKANLAH OLEH JIWA BENGIS KITA, bahwa kita ini hanyalah pecundang yang BANGSATTTT....!!!!

Bersama Menuju Masa Depan Jurnalis


tanpa memandang rendah diri dalam jiwa menuju pantai mengayuh dayung dalam sebuah tempurung, agar kesejahteraan dan profesionalisme tumbuh dalam jiwa, tegak menantang batu karang bukanlah halang agar kita bisa menerjang dengan segala parang jiwa meski sudah usang, pasti kan dapat diraih kejayaan dengan jiwa jurnalis yang teguh memegang amanah profesi

Wartawan dan Mutu Jurnalistik yang Rendah



Oleh : Sasmito Anggoro

HASIL penelitian terakhir Saya tentang kesejahteraan wartawan menuntut perhatian masyarakat terhadap profesi wartawan. Pantuan saya di internet yang menjelaskan dari 80 media massa mengungkap penghasilan rata-rata wartawan antara Rp 900 ribu dan Rp 1,4 juta per bulan. Yang menyedihkan masih dijumpainya wartawan yang gajinya di bawah Rp 200 ribu per bulan, bahkan ada juga wartawan yang bekerja tanpa gaji, dan masih harus dibebani dengan menjual koran, seperti perusahaan marketing

Seperti yang disampaikan Wisnu Hanggoro dan Irene iriawati, pendiri dan aktivis Lembaga Studi
Pers & Informasi - LeSPI, Semarang, Melihat temuan tersebut mereka mengungkapkan dan memperkuat hasil penelitian AJI-Pusat dan AJI-Surabaya enam tahun sebelumnya (1999) yang mengungkap sangat rendahnya gaji wartawan. Saat itu, dari 250 responden di Jakarta diperoleh data 5% wartawan ber-gaji di bawah Rp 250 ribu, 35% bergaji antara Rp 500 ribu-Rp 1 juta, 30% bergaji Rp 1 juta-Rp 2 juta, dan 8% bergaji di atas Rp 2 juta. Dalam pada itu, dari 276 responden yang tersebar di 12 kabupaten dan kotamadia di Jawa Timur diperoleh data 0,7% bergaji di bawah Rp 100 ribu, 15,2% bergaji Rp 100 ribu-Rp 250 ribu, 34,1% bergaji Rp 250 ribu-Rp 500 ribu, 21% bergaji Rp 500 ribu-Rp 750 ribu. Kemudian 14% bergaji Rp 750 ribu-Rp 1 juta, dan 13,8% bergaji di atas Rp 1 juta. (anda bisa buka di internet dengan judul Kesejahteraan Jurnalis Antara Mitos dan Kenyataan, 2000).

Kalau dibandingkan dengan temuan sembilan tahun silam itu, kesejahteraan wartawan di negeri ini bukannya semakin meningkat melainkan justru semakin menurun. Ini karena biaya dan beban hidup yang harus dipikul masyarakat Indonesia dalam sembilan tahun terakhir meningkat tajam.

Hasil penelitian tersebut pada dasarnya juga semakin memperjelas kenyataan bahwa menjadi wartawan berarti memasuki kawasan kerja yang bebannya berlipat-lipat. Dalam literatur psikologi terapan, pekerjaan wartawan, di samping pekerjaan sopir, pelawak, ataupun tentara, termasuk dalam kategori rentan penyakit dan memiliki harapan hidup rendah. Ini karena pekerjaan wartawan memiliki tingkat stres yang cukup tinggi sebagai akibat tuntutan target pembuatan berita yang deadline-nya tidak bisa ditawar-tawar lagi.

Risiko Kekerasan

Seperti yang pernah dilaporkan oleh Reporters Sans Frontiers (RSF, Reporter Lintas Batas) di Paris
pada (04/01/06) merupakan bukti konkrit tentang risiko pekerjaan wartawan. Dalam laporan itu dinyatakan selama tahun 2005 ada sekitar 1.300 wartawan di berbagai belahan dunia yang menghadapi ancaman dan penyerangan dari orang-orang yang terusik oleh hasil kerja mereka.

Sejalan dengan laporan RSF, tulisan Katharine Q Seelye di The New York Times (14/02/06) mempertegas besarnya risiko yang harus dihadapi wartawan, khususnya saat melakukan liputan konflik atau peperangan. Dalam tulisan itu Seelye, mengacu laporan The Committee to Protect Journalists (CPJ), menyebutkan selama 2005 telah ditemukan 22 orang wartawan terbunuh di medan pe-rang Irak. Jumlah ini telah menambah total korban wartawan terbunuh selama invasi AS di Irak antara 2003-2005 menjadi sebanyak 61 orang. Jumlah itu melampaui yang terjadi
di Aljazair selama konflik 1993-1996 yang menelan korban 58 orang wartawan terbunuh saat menjalankan tugasnya.

Di Indonesia, kasus terbunuhnya Udin, wartawan Harian Bernas Yogyakarta di masa Orde Baru merupakan salah satu contoh risiko terberat yang dihadapi wartawan di negerinya sendiri. Sampai saat ini kasus tersebut tetap gelap.

Pada Agustus 2005 kasus yang hampir serupa dengan Udin juga menimpa wartawan ''Berita Sore" Medan, Elyudin Telaumbanua yang tengah melakukan liputan pilkada di Kabupaten Nias Selatan. Para saksi mata menyebutkan, Elyudin diculik oleh gerombolan tak dikenal. Selama lebih dari dua bulan sejak itu keberadaannya tidak diketahui lagi hingga pada 14 Oktober 2005 Dewan Pers melayangkan surat pernyataan atas kasus tersebut. Anehnya, berita seputar hilangnya Elyudin ini
seperti menguap begitu saja.

Kasus yang cukup banyak terjadi di negeri ini adalah penganiayaan terhadap wartawan. Hanya saja, data terhadap kasus-kasus tersebut tersebar tanpa ada pihak yang melakukan inventarisasi ataupun dokumentasi. Pada tahun 2001 AJI pusat sebenarnya telah merintis langkah semacam itu dengan menyajikan laporan tahunan yang di dalamnya antara lain menyebutkan selama 2000-2001 telah terjadi 83 kasus penganiayaan terhadap wartawan. Sayang, laporan semacam itu tidak bisa
dilakukan secara rutin.

Akibat ketidaktersediaan data secara lengkap itu, masyarakat hanya mengetahui sejumlah kasus kekerasan terhadap wartawan di berbagai kawasan di negeri ini sebagai kasus-kasus yang terpisah satu dengan lainnya. Tidak ada yang mencoba menarik benang merah antara kasus satu dan lainnya yang memungkinkan penanganan secara konstruktif.

Sebagai contoh, kasus penganiayaan wartawan oleh oknum aparat keamanan yang mulai bermunculan belakangan ini sebagaimana dialami kameraman Indosiar, Wensy Pantou oleh sejumlah oknum di Manado Januari 2006.

Kasus semacam itu hanyalah sebagian kecil yang muncul ke permukaan. Di lapangan, sangat banyak wartawan yang menghadapi kekerasan berupa ancaman agar tidak memberitakan hal-hal tertentu yang menyangkut kejahatan publik tokoh-tokoh tertentu. Menghadapi jenis kekerasan semacam ini biasanya wartawan memilih diam tanpa berani melapor ke pihak berwajib.

Perlu Perlindungan

Menyaksikan sederet kasus kekerasan tersebut, sudah waktunya dibangun satu sistem yang memungkinkan wartawan bisa menjalankan profesinya secara maksimal. Risiko yang dihadapi waartawan adalah risiko bagi keluarganya dan sekaligus bagi masyarakat luas. Hilangnya seorang wartawan yang tengah mengabdi pada tugasnya mengandung arti hilangnya kesempatan bagi masyarakat untuk melihat dunia dengan benar.

Berkat kerja wartawan, tanpa disadari pengetahuan umat manusia terus bertambah.

Harus diakui, dalam kondisi riil di lapangan, masih banyak wartawan yang belum memenuhi standar profesi. Oleh karena itu menjadi kewajiban tiap-tiap lembaga media atau organisasi-organisasi kewartawanan untuk memberikan pelatihan memadai agar para wartawan yang menjadi anggotanya terus berkembang sesuai dengan tuntutan profesi mereka.

Namun, yang terpenting dan terasa mendesak, tentu saja yang terkait dengan kesejahteraan dan perlindungan terhadap wartawan. Sudah saatnya dibuat standar gaji yang layak bagi profesi wartawan. Lembaga media yang tidak mampu menggaji wartawannya secara layak mestinya tidak perlu ada. Lembaga-lembaga semacam itu tidak saja mengeksploitasi karyawannya dengan sekadar memberi "gelar wartawan," tetapi juga mengelabuhi masyarakat dengan kualitas jurnalisme yang rendah. (14)

Gadis Pemberontak



tanpa takut kau menjerit dihadapan siapa saja
terlalu berani engkau miliki
meski dini usiamu, tapi apapun engkau terjang demi sebuah kebahagian dabn perhatian dalam hidupmu.

Gadis kecilku maniz nan mungil, kusayang padamu, dan juga ibumu yang selalu merawatmu, meski setiap hari engkau berdebat untuk beradu idealisme dalam soal jajan, makan, dan bermain, namun kau sangat lucu dan menggemaskan.

Putriku, jika engkau berani aku akan lebih berani, untuk membawamu menjejak kehidupan meski tantangan angin maupun terjalnya suara yang memekikkan teinga hingga berdarah.

Sayangilah Ibumu yang manis, jerih payahnya yang setiap pagi dan malam memanjakkanmu dengan segala kemampuan sebagai orang tua.

Nak...... berteriaklah nak, goncangkan dunia meski engkau wanita, aku dibelakangmu memeluk dan mengusap rambutmu. Ibumu juga kan bertepuk tangan memberikan senyuman.

Kejarlah harapanmu sebagai impian dalam sebuah langkah menuju nyata, hancurkan semua penghalang dengan kepalan tangan lembutmu, pecahkan telinga kafilah dengan pekikkan jeritan merdumu.

Agar tersingkir semua gunung, batu dan samudra yang selalu mengganjalmu, menarilah dan bernyayilah dalam jiwa syahdu, bersapalah dengan semua jenis dan bentuk tulang yang tertutup kulit, akan tetapi jangan lupa ambil jantung dan hatinya dan makanlah. kemudian kau akan menjadi perempuan perkasa kuasai manusia yang berkelakuan binatang*********

Jumat, 29 Agustus 2008

Sekilas Tentang jurnalis

Sekilas tentang jurnalis
Aktivitas
Jurnalisme dapat dikatakan "coretan pertama dalam sejarah". Meskipun berita seringkali ditulis dalam batas waktu terakhir, tetapi biasanya disunting sebelum diterbitkan.
Jurnalis seringkali berinteraksi dengan sumber yang kadangkala melibatkan konfidensialitas. Banyak pemerintahan Barat menjamin kebebasan dalam pers.
Aktivitas utama dalam jurnalisme adalah pelaporan kejadian dengan menyatakan siapa, apa, kapan, di mana, mengapa dan bagaimana (dalam bahasa Inggris dikenal dengan 5W+1H) dan juga menjelaskan kepentingan dan akibat dari kejadian atau trend. Jurnalisme meliputi beberapa media: koran, televisi, radio, majalah dan internet sebagai pendatang baru.
Sejarah
Pada awalnya, komunikasi antar manusia sangat bergantung pada komunikasi dari mulut ke mulut. Catatan sejarah yang berkaitan dengan penerbitan media massa terpicu penemuan mesin cetak oleh Johannes Gutenberg.
Di Indonesia, perkembangan kegiatan jurnalistik diawali oleh Belanda. Beberapa pejuang kemerdekaan Indonesia pun menggunakan jurnalisme sebagai alat perjuangan. Di era-era inilah Bintang Timur, Bintang Barat, Java Bode, Medan Prijaji, dan Java Bode terbit.
Pada masa pendudukan Jepang mengambil alih kekuasaan, koran-koran ini dilarang. Akan tetapi pada akhirnya ada lima media yang mendapat izin terbit: Asia Raja, Tjahaja, Sinar Baru, Sinar Matahari, dan Suara Asia.
Kemerdekaan Indonesia membawa berkah bagi jurnalisme. Pemerintah Indonesia menggunakan Radio Republik Indonesia sebagai media komunikasi. Menjelang penyelenggaraan Asian Games IV, pemerintah memasukkan proyek televisi. Sejak tahun 1962 inilah Televisi Republik Indonesia muncul dengan teknologi layar hitam putih.
Masa kekuasaan presiden Soeharto, banyak terjadi pembreidelan media massa. Kasus Harian Indonesia Raya dan Majalah Tempo merupakan dua contoh kentara dalam sensor kekuasaan ini. Kontrol ini dipegang melalui Departemen Penerangan dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Hal inilah yang kemudian memunculkan Aliansi Jurnalis Indepen yang mendeklarasikan diri di Wisma Tempo Sirna Galih, Jawa Barat. Beberapa aktivisnya dimasukkan ke penjara.
Titik kebebasan pers mulai terasa lagi saat BJ Habibie menggantikan Soeharto. Banyak media massa yang muncul kemudian dan PWI tidak lagi menjadi satu-satunya organisasi profesi.
Kegiatan jurnalisme diatur dengan Undang-Undang Penyiaran dan Kode Etik Jurnalistik yang dikeluarkan Dewan Pers

Wartawan
Wartawan atau jurnalis adalah seorang yang melakukan jurnalisme, yaitu orang yang menciptakan laporan sebagai profesi untuk disebarluaskan atau dipublikasi dalam media massa, seperti koran, televisi, radio, majalah, film dokumentasi, dan internet. Wartawan mencari sumber mereka untuk ditulis dalam laporannya; dan mereka diharapkan untuk menulis laporan yang paling objektif dan tidak memiliki pandangan dari sudut tertentu untuk melayani masyarakat.
Istilah jurnalis
Istilah jurnalis dan wartawan di Indonesia
Istilah jurnalis baru muncul di Indonesia setelah masuknya pengaruh ilmu komunikasi yang cenderung berkiblat ke Amerika Serikat. Istilah ini kemudian berimbas pada penamaan seputar posisi-posisi kewartawanan. Misalnya, "redaktur" menjadi "editor."
Pada saat Aliansi Jurnalis Independen berdiri, terjadi kesadaran tentang istilah jurnalis ini. Menurut aliansi ini, jurnalis adalah profesi atau penamaan seseorang yang pekerjaannya berhubungan dengan isi media massa. Jurnalis meliputi juga kolumnis, penulis lepas, fotografer, dan desain grafis editorial. Akan tetapi pada kenyataan referensi penggunaannya, istilah jurnalis lebih mengacu pada definisi wartawan.
Sementara itu wartawan, dalam pendefinisian Persatuan Wartawan Indonesia, hubungannya dengan kegiatan tulis menulis yang di antaranya mencari data (riset, liputan, verifikasi) untuk melengkapi laporannya. Wartawan dituntut untuk objektif, hal ini berbeda dengan penulis kolom yang bisa mengemukakan subjektivitasnya.
Asal dan ruang lingkup istilah jurnalis
Dalam awal abad ke-19, jurnalis berarti seseorang yang menulis untuk jurnal, seperti Charles Dickens pada awal karirnya. Dalam abad terakhir ini artinya telah menjadi seorang penulis untuk koran dan juga majalah.
Banyak orang mengira jurnalis sama dengan reporter, seseorang yang mengumpulkan informasi dan menciptakan laporan, atau cerita. Tetapi, hal ini tidak benar karena dia tidak meliputi tipe jurnalis lainnya, seperti kolumnis, penulis utama, fotografer, dan desain editorial.
Tanpa memandang jenis media, istilah jurnalis membawa konotasi atau harapan keprofesionalisme dalam membuat laporan, dengan pertimbangan kebenaran dan etika.

Syair Berdarah

Kemana Anak Anak Itu Pergi


Kemana anak - anak itu
Siapa yang menyembunyikan mereka
Siapa yang menculik mereka
Siapa yang meracuni dan membuang mereka
Anak - anak yang bernama kemerdekaan
Anak - anak yang bernama hak makhluk
dan harkat kemanusiaan
Anak - anak yang bernama cinta kasih sesama
Anak - anak yang bernama indahnya kesejahteraan
Anak - anak yang bernama keterbukaan dan kelapangan
Anak - anak itu tunggang langgang
Anak - anak itu diserbu oleh rasa takut yang mencekam
Anak - anak itu bertiarap ke bawah semak - semak zaman
Anak - anak itu ngumpet dibalik kegelapan
Kematian bukanlah tragedi
kecuali jika kita curi dari Tuhan
hak untuk menentukannya
Nyawa badan
Nyawa rohani
Nyawa kesadaran
Nyawa hak untuk tenteram
Nyawa kewajiban untuk berbagi kesejahteraan
Nyawa amanat untuk merawat keadilan
Dihembuskan oleh Tuhan
dielus - elus dan Ia sayang - sayang
Bahkan nyawa setiap ekor coro
Bahkan nyawa cacing yang menggeliat - geliat
Ia jaga dalam tata kosmos keseimbangan-Nya
Tuhan sangat bersungguh - sungguh dalam mengurusi
setiap tetes embun yang Ia tampung di sehelai daun
Tuhan menyayangi dengan separuh hati-Nya
setiap titik debu yang menempati persemayaman-Nya
Tapi kita iseng
Kita tidak serius terhadap nilai
Terhadap Allahpun kita bersikap setengah hati


JALAN SUNYI


Akhirnya kutempuh jalan yang sunyi
Mendengarkan lagu bisu sendiri di lubuk hati
Puisi yang kusembunyikan dari kata - kata
Cinta yang tak kan kutemukan bentuknya

Apabila kau dengar tangis di saat lengang
Kalau bulan senyap dan langit meremang
Sesekali temuilah detak - detik pelaminan ruh sepi hidupku
Agar terjadi saat saling mengusap peluh dendam rindu

Kuanyam dari dan malam dalam nyanyian
Kerajut waktu dengan darah berlarut - larut
Tak habis menimpukku batu demi batu kepalsuan
Demi mengongkosi penantian ke Larut




"KAMU DIRACUNI OLEH OKNUM TERTENTU
NAMANYA TAWAR MENAWAR YANG TIDAK SEPADAN
KAMU DIHASUT
HATIMU DIBAKAR OLEH TAMU ASING
YANG DATANG DENGAN TOPI BAJA KEKUASAAN
KAMU DITUNGGANGI OLEH PIHAK KETIGA
YANG BERNAMA TEKANAN DAN DUKA DERITA"

Dalam Diriku

dalam diriku mengalir sungai panjang,
darah namanya;

dalam diriku menggenang telaga darah,
Sukma namanya;

dalam diriku meriak gelombang sukma,
hidup namanya!

dan karena hidup itu indah,
aku menangis sepuas-puasnya


Hari ini, aku ingin menangis sejadinya… Aku tidak tau kenapa aku tiba-tiba menangis. Aku tidak tau apakah karena aku bersedih atau bergembira terhadapmu yang begitu ku cinta.


Mari Bangkit Para Pengangguran


Oleh : Sasmito Anggoro


Se-abad sudah hari kebangitan nasional (harkitnas) dan tiap tahunnya berbagai model perayaan, penghayatan dilakukan warga negeri ini. Namun satu hal yakni pengangguran makin menggila dan masih belum beranjak dari keterpurukan.

Masalah pengangguran nampaknya tidak bisa lepas dari kehidupan kita, tiap tahun akan memungkinkan jumlah pencari pekerjaan tersebut kian banyak.

Secara otomatis akan menimbulkan jumlah persaingan dalam mendapatkan pekerjaan akan bertambah pula. Jumlah lulusan pendidikan tiap tahun yang bertambah, sebentar lagi akan terjadi lagi, akan menimbulkan persoalan baru dalam dunia ketenagakerjaan. Artinya jumlag pengangguran atau jumlah pencari kerja dapat dipastikan bertambah.

Dengan beban yang berat dalam solusi ketenagakerjaan tersebut, tanggung jawab tidak dapat sepenuhnya kita diserahkan kepada pemerintah. Sehebat apa pun pemerintahan, jika persoalan sudah sedemikian parah, penyelesaiannya juga akan memakan waktu yang tidak sebentar.

Sehingga dengan memakan waktu lama, selama itu pula jumlah pengangguran akan semakin bertambah.Namun akan lebih bijaksana jika kita, tidak menyalahkan kepada siapa pun jika lapangan pekerjaan saat ini begitu terbatas dan tidak sebanding dengan tenaga kerja yang harus diserap. Jika hanya berpikir untuk menyerahkan tanggung jawab ini kepada orang lain, masalah tidak akan pernah selesai.

Dan masing-masing pihak akan saling melemparkan tanggung jawab ke pihak yang lain. Jadi, mengapa tidak berpikir bahwa kita sendiri harus ikut mengambil peran dalam tanggung jawab tersebut ? Dan tidak hanya menjadi komentator saja.

Peran yang dimaksud adalah cara kita dalam mengambil tanggung jawab dalam mengurangi pengangguran dengan tidak ikut dalam mencari pekerjaan. Dengan demikian setidak – tidaknya jumlah pengangguran dapat berkurang satu orang, apalagi kita dapat menciptakan lapangan pekerjaan untuk satu orang lagi, tingkat persaingan dalam mencari pekerjaan akan berkurang. Maka paling tidak untuk diri sendiri, kita sudah dapat memecahkan atau menemukan solusi masalah pengangguran.

Mungkin yang menjadi kendala dalam menciptakan lapangan pekerjaan meskipun untuk diri kita sendiri adalah bukan persoalan mudah. Menjadi wirausahawan bagai dua sisi mata uang, wirausahawan peluang untuk berkembang yang cukup besar dan sisi lain, risikonya kebangkrutan juga tidak kecil. Sangat jelas menjadi wirausaha (enterpreneur) lebih sulit dari pada mencari pekerja.

Sehingga para pencari pekerja tersebut tidak kesemuanya akan dapat melakukan hal ini (mendirikan wirausaha), sehingga tidak semata – mata pengangguran yang tidak dapat menjadi wirausaha dapat disalahkan begitu saja. Karena banyak hal yang harus dipecahkan untuk menjadi wirausahawan diantaranya jenis usaha yang akan dikerjakan, modal, tempat walaupun kesemuanya tersebut tidak meski menghabiskan dana besar, namun akan menjadi sebuah tantangan yang cukup besar untuk merealisasikanya.

Jika kita memilih untuk menjadi kontestan perebutan lapangan kerja, juga bukan hal yang mudah pula. Karena dalam dunia pencari kerja juga penuh dengan persaingan. Dapat kita pahami persainganya mulai dari tahap kapasitas SDM yang relatif hampir salam dengan pelamar lain, hingga persoalan non teknis lain serta minimnya lapangan pekerjaan yang ada dengan diperebutkan pencari kerja yang tidak sedikit pula.

Kembali, jika ingin menjadi seorang wirausaha ada hal yang harus kita tentukan terlebih dahulu, apakah kita cukup berani untuk memilih jalan menjadi enterpreneur? Dan melewatkan beberapa ketakutan yang ada.

Untuk memulai menjadi wirausaha biasanya kita memenuhi tiga ketakutan.

Ketakutan yang pertama adalah takut rugi. Memang usaha apa pun akan selalu berisiko untuk rugi tetapi juga berpeluang untuk untung. Dalam dunia kerja pun kita juga menemui berpeluang untuk diberhentikan. Karena untuk memulai sebuah usaha dimungkinkan akan mengalami beberapa ketakutan – ketakutan yang memerlukan solusi agar menjadi wirausahawan.

Ketakutan Pertama adalah takut rugi. Sangat dimungkinkan dalan dunia usaha apapun berkungkinan mengalami kerugian, tetapi juga berkemungkinan akan mengalami keuntungan yang besar. Dalam dunia mencari pekerjaan juga akan mengalami hal yang relatif sama, mengalami ditolak bekerja, dan jika sudah bekerja akan berkemungkinan pula mengalami perhentian hubungan kerja (PHK) atau lebih ekstrim dipecat.

Ketakutan yang kedua adalah takut terhadap ketidakpastian terutama tentang pendapatan penghasilan. Seperti yang sudah yang sudah disebutkan diatas, dalam dunia usaha akan mengalami untung maupun rugi. Namun dalam dunia kerja pun terdapat ketidak pastian, yakni kondisi perusahaan yang tidak dapat dipastikan selalu sehat.

Berikutnya adalah takut mencoba. takut mencoba dapat disamakan dengan takut berenang. Jika kita tidak pernah melakukan aktifitas berenang mungkin kita hanya tahu teori dan belum tahu hal – hal yang ditemui dalam praktek tersebut menjadi sebuah pelajaran untuk memperbaiki dalam berenang kita berikutnya agar tidak tenggelam. Dan tekat serta semangat merupakan hal yang cukup penting dalam setiap melakukan sebuah pekerjaan. Karena didalamnya trdapat sebuah motifator, sugesti yang dapat membuat segala yang kita inginkan berkemungkinan tercapai.

Demikian halnya dengan menjadi wirausahawan. Kita dapat belajar teknik menjadi wirausaha sangat terbuka lebar, mulai dari jumlah buku tentang menjadi wirausaha juga sudah sangat melimpah dan tidak sulit untuk ditemukan. Selain itu kita dapat belajar dari pengusaha yang sudah memiliki pendapat yang memadahi atau sudah berhasil.

Tetapi, jika kita hanya tahu teori dan tidak pernah mencoba memulai usaha, kita akan menjadi wirausahawan dalam mimpi. Memang dalam usaha adanya persaingan, jumlah pendapatan masyarakat yang turun, daya beli masyarakat juga mulai turun. Namun ada hal yang tidak berpengaruh, yakni adanya tingkat kebutuhan masyarakat yang tidak dipengaruhi ruang dan waktu. Dan hal itu adalah dasar dari peluang mendirikan sebuah usaha.

Hal berikutnya adalah kita memilih jenis usaha yang akan kita geluti. Berpikir dari kebutuhan masyarakat secara umum, tentunya akan mendapat persaingan yang cukup besar, disamping jumlah pengusaha yang sudah mengisi dalam usaha tersebut, juga faktor pemain lama akan lebih menguasai pasar dari pada pemain baru menjadi tantangan yang tidak mudah dalam memulai usaha.

Misalnya, dengan usaha penjualan pulsa, walaupun jumlah pengguna telepon selular semakin bertambah tetapi jumlah pengusaha dalam bidang tersebut sudah cukup banyak. Selain itu wilayah sebaran atau wilayah pangsa pasar akan semakin sempit dengan bertambahnya pengusaha dengan jenis yang sama.

Maka kita harus berfikir kebutuhan masyarakat yang belum digarap atau masih sedikit dilakukan oleh para pengusaha yang sudah ada. Karena sepinya pemain dalam bidang yang belum ada dipengaruhi beberapa faktor atau alasan – alasan yang menjadi kendala besarnya. Diantaranya kehalian untuk melakukan bidang tersebut.

Sehingga kita mulai dari hal yang dapat kita kuasai, atau ilmu apa yang kita kuasai, dari hal – hal yang bersifat umum hingga khusus. Namun jika melakukan atau mendirikan usaha dari kemampuan kita yang sudah banyak dimiliki oleh khalayak masyarakat, maka dapat dipastikan akan mendapat persaingan yang cukup besar. Namun jika kita mulai dari kemampuan spesifik atau sedikit dimiliki oleh masyarakat umum akan mendapat persaingan yang cukup kecil pula paling tidak persaingan dapat lebih ringan. Dan hal tersebut dapat menjadi peluang untuk membesarkan usaha kita untuk menjadi pengusaha sukses.

Kembali ke masalah ketenagakerjaan, jika kita ikut memperebutkan kursi lapangan pekerjaan, sebenarnya kita ikut menjadi beban masalah ketenagakerjaan. Akan tetapi, jika kita berusaha untuk menciptakan lapangan kerja, minimal untuk diri kita sendiri sebenarnya kita sudah ikut menjadi solusi. Salah satu indikator penyebab pengangguran masih tinggi, mungkin banyak di antara kita yang lebih senang menjadi beban dari pada menjadi solusi.

Sang Pengharap Vs Si Mampu


Oleh: Sasmito Anggoro


Sebentar lagi, Bantuan Langsung Tunai (BLT) sebagai akan disalurkan, sebagai kompensasi kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) oleh pemerintah kepada Keluarga Miskin (Gakin). Sayangnya, BLT saat ini banyak menuai cibiran, salah satunya adalah kritik pedas yang dilontarkan oleh Abdurrahman Wahid. Gus Dur tampaknya lebih sependapat dengan pernyataan yang menyebutkan bahwa pemberian BLT terhadap keluarga miskin tidak efektif. Lebih lanjut ia secara terang-terangan menyebut BLT adalah sebuah upaya baru untuk ajang korupsi di kalangan birokrat.

Cibiran dan kritik pedas yang dilontarkan oleh para pemikir, tampaknya tidak mampu menghentikan laju harapan dari masyarakat bawah. Betapa tidak, urusan perut mengalahkan pendapat para pemikir, mereka berharap mendapatkan jatah yang hanya seratus ribu rupiah tersebut.

Program BLT yang rencananya dikucurkan Juni mendatang, diprediksi bakal menimbulkan konflik baru. Pasalnya, kemungkinan perebutan hak perolehan BLT akan memicu hal itu. Pengalaman yang lelu membuktikan bahwa kenyataan yang terjadi di masyarakat pedesaan, baik golongan yang mampu atau tidak mampu, pasti ingin mendapatkan BLT dengan mengaku Miskin,

Ditambah lagi kemampuan golongan non miskin yang sepertinya dapat menyulap statusnya menjadi golongan miskin. Iri hati dan ketidak berdayaan golongan miskin (yang asli) akan menimbulkan dendam, iri hati dan konflik multi segmen.

Mulai dari petugas pendataan dari tingkat paling bawah, merekapun dimungkinkan bakal tidak bisa berbuat banyak dalam membagikan BLT secara benar (jujur dan tepat sasaran), karena akan mendapat pressure dari pihak yang meminta diakui kemiskinannya.

Para warga miskin sampai saat ini hanya bisa berharap, pada ketegasan pemerintah dalam penyaluran BLT. Terutama dalam segi pendataan yang diharapkan dapat betul-betul akurat. Hingga kin, tidak dapat dipungkiri, para warga miskin banyak mengeluh karena BLT yang seharusnya menjadi hak mereka, akhirnya harus dibagi dengan tetangganya yang tidak miskin.

Upaya pemerintah dalam menghindarkan konflik yang mungkin terjadi akan dipertaruhkan disini. Termasuk upaya pemerintah dalam membantah opini yang terlanjur memberi image KKN mendarah daging di tubuh mereka. BLT bukan sekedar harapan bagi kaum miskin, namun juga harapan bagi kaum kayaa, birokrat dari atas hingga bawah.

Sementara ini, kaum miskin hanya mempunyai kemampuan untuk berharap, sedangkan mereka yang lebih kaya masih punya kemampuan lain, yakni rekayasa status dan data. Termasuk kemampuan manipulasi, mengambil untung, dan bahkan memungut sisa sisa jatah BLT yang sengaja dicecerkan di lipatan buku pendataan.

Akankah dengan BLT masyarakat miskin yang hanya punya kemampuan untuk berharap, dapat lebih tenang ? Apakah BLT yang di berikan kepada masyarakat akan membuat Indonesia semakin Dewasa atau justru hanya menjadikan Indonesia sebagai masyarakat pemimpi untuk menuai harapan mereka.