Selasa, 17 Maret 2009

Pengantar ke Peliputan Investigatif (Investigative Reporting)

Apakah yang dimaksud dengan pelaporan investigatif (investigative reporting)? Secara sederhana, peliputan investigatif adalah praktik jurnalisme, yang menggunakan metode investigasi dalam mencari informasi.

Karakter dari berita investigatif adalah: (1) merupakan produk kerja asli jurnalis bersangkutan, bukan hasil investigasi dari sebuah instansi pemerintah atau nonpemerintah; (2) mengandung informasi yang tidak akan terungkap tanpa usaha si jurnalis; dan (3) berkaitan dengan kepentingan publik.[1]

Dari mana munculnya jurnalisme investigatif ini? Di Amerika Serikat, istilah investigative reporting tampaknya mulai populer pada tahun 1975, ketika di Columbia didirikan Investigative Reporters and Editors Inc. Namun, bicara tentang sejarah kemunculan jurnalisme investigatif, tampaknya harus dimulai dari kemunculan apa yang dinamakan muckraking journalism.

Muckraking journalists adalah julukan yang diberikan pada jurnalis Amerika, yang menggunakan suratkabar tempat ia bekerja sebagai sarana untuk menggugat ketidakadilan, mengungkap kesewenang-wenangan (abuses), dan menyebarkan informasi tentang berbagai penyimpangan yang terjadi kepada masyarakat umum.[1]

Istilah ini dipopulerkan pada akhir 1800-an, ketika sejumlah jurnalis Amerika mulai mengambil jarak dari bentuk pelaporan berita peristiwa biasa. Sebagai gantinya, mereka mulai melakukan investigasi dan menulis tentang tokoh dan organisasi ternama. Dengan semangat untuk mengungkap korupsi di kalangan bisnis dan politik, para jurnalis ini membantu meningkatkan kesadaran publik terhadap berbagai penyakit sosial, ekonomi, dan politik.

Pengertian "jurnalis" dalam konteks muckraking journalists di sini tidak terbatas pada reporter suratkabar, seperti yang kita kenal sekarang, tetapi juga mencakup novelis dan kritikus.

Karya para jurnalis ini akhirnya menghasilkan sejumlah reformasi dan perubahan legislatif. Artikel-artikel mereka di majalah, pada awal 1900-an, mengungkapkan praktik-praktik korupsi di beberapa sektor bisnis dan perusahaan asuransi jiwa. Hal itu mendorong terwujudnya tindakan-tindakan yang krusial terhadap undang-undang bahan makanan murni dan peraturan antimonopoli. Artikel-artikel tersebut bisa dibilang telah mengubah peran jurnalis dalam masyarakat.

Para jurnalis ini menyelidiki dan mengungkap isu-isu sosial, seperti kondisi di permukiman kumuh, penjara, pabrik, rumah sakit jiwa, pertambangan, bengkel kerja, buruh anak, dan kondisi yang tidak bersih di pabrik-pabrik pengolahan makanan. Muckraking journalists sering menulis tentang orang yang menjadi miskin akibat ketidakberesan sistem sosial, dan menggugat lembaga-lembaga yang sudah mapan dalam masyarakat.

Tak jarang, gugatan itu diekspresikan dengan cara sensasional. Tidak heran jika mereka dituding sebagai kaum sosialis, bahkan komunis. Pada awal 1900-an, mereka mengangkat isu-isu sosial itu dengan menulis buku dan artikel di majalah populer dan suratkabar, seperti Cosmopolitan, The Independent, dan McClure's.

McClure's atau McClure's Magazine adalah majalah bulanan Amerika, yang populer pada peralihan abad ke-20. Didirikan oleh S.S. McClure dan John Sanborn Phillips pada 1893, majalah ini dianggap sebagai pencipta muckraking journalism.

Di majalah ini, pada tahun 1902, muncul rangkaian laporan karya Ida Tarbell, yang menyingkap kesewenang-wenangan praktik monopoli perusahaan minyak Standard Oil Company, milik John D. Rockefeller. Juga, muncul karya Ray Stannard Baker, yang membuat masyarakat menyorot keras perilaku perusahaan United States Steel Corporation. Majalah McClure's ini bisa dibilang telah membantu membentuk "kompas moral" pada zamannya.[3]

Sebutan muckraker kini juga ditujukan pada jurnalis masa sekarang, yang mengikuti tradisi lama tersebut. Mereka sekarang meliput topik-topik seperti: klaim-klaim yang bersifat penipuan dari perusahaan pembuat obat berpaten; perbudakan zaman modern; prostitusi anak; pornografi anak; dan peredaran narkoba.

Beberapa contoh dari jurnalis muckraker kontemporer adalah:[4]

•·Wayne Barrett, jurnalis investigatif, redaktur senior the Village Voice. Ia menulis tentang perilaku Rudy Giuliani sebagai Walikota New York City, dalam bukunya Grand Illusion: The Untold Story of Rudy Giuliani and 9/11 (2006).

•·Amy Goodman, jurnalis, host di radio Pacifica Network, dengan programnya yang dinamai Democracy Now!

•·Seymour Hersh, jurnalis yang terkenal dengan laporannya tentang pembantaian My Lai (era Perang Vietnam), program senjata nuklir Israel, profil Menteri Luar Negeri AS Henry Kissinger, invasi Amerika ke Irak tahun 2003, dan penyiksaan terhadap para tahanan Irak oleh tentara AS di penjara Abu Ghraib.

•·Michael Moore, pembuat film dokumenter, sutradara film Roger and Me, Bowling for Columbine, Fahrenheit 911, dan SiCKO

•·John Pilger, koresponden perang yang sudah memenangkan berbagai penghargaan, pembuat film, dan pengarang buku.

•·Bob Woodward dan Carl Bernstein, jurnalis suratkabar Washington Post, yang mengungkap skandal Watergate; pengarang buku All the President's Men, yang menceritakan rincian pengungkapan skandal itu.

•· Dan lain-lain, yang tak bisa disebutkan satu-persatu.

Di Indonesia, yang dianggap menjadi pelopor jurnalisme investigatif adalah Suratkabar Indonesia Raya, di bawah pimpinan Mochtar Lubis. Antara tahun 1969 sampai 1972, suratkabar itu gencar membongkar kasus-kasus korupsi di perusahaan minyak negara, Pertamina.

Pada periode 1990-an, majalah dwi-mingguan Tajuk memposisikan diri sebagai majalah investigasi. Sedangkan majalah berita mingguan Tempo, sesudah sempat dibreidel oleh rezim Soeharto pada 21 Juni 1994, juga memunculkan rubrik khusus investigasi, ketika majalah itu terbit lagi pada 1998.[5]

Tiga Bentuk Jurnalisme Investigatif

Sesudah praktik jurnalisme investigatif semakin matang, ada beberapa bentuknya yang dapat kita kenali. Menurut Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, setidaknya ada tiga bentuk yang bisa kita bedakan. Yaitu: pelaporan investigatif orisinal, pelaporan investigatif interpretatif, dan pelaporan terhadap investigasi.[6]

Pelaporan investigatif orisinal (original investigative reporting):

Pelaporan investigatif orisinal melibatkan reporter itu sendiri dalam mengungkap dan mendokumentasikan berbagai aktivitas subjek, yang sebelumnya tidak diketahui oleh publik. Ini merupakan bentuk pelaporan investigatif, yang sering berujung pada investigasi publik secara resmi, tentang subjek atau aktivitas yang semula diselidiki dan diungkap oleh jurnalis. Ini adalah contoh klasik, di mana pers mendesak lembaga publik (pemerintah), atas nama publik.

Dalam melakukan investigasi, jurnalis mungkin menggunakan taktik-taktik yang mirip dengan kerja polisi. Seperti, penggunaan tenaga informan, pemeriksaan catatan/data publik, bahkan --dalam situasi tertentu-- pemantauan aktivitas dengan sembunyi-sembunyi dan penggunaan penyamaran.

Dalam pelaporan investigatif orisinal di era modern sekarang, kekuatan analisis komputer sering menggantikan observasi personal para reporter.

Pelaporan investigatif interpretatif (interpretative investigative reporting):

Jenis pelaporan investigatif interpretatif juga menggunakan keterampilan yang sama, seperti pada pelaporan investigatif orisinal, namun menempatkan interpretasi (penafsiran) pada tingkatan yang berbeda.

Perbedaan mendasar antara keduanya adalah, pada pelaporan investigatif orisinal, si jurnalis mengungkapkan informasi, yang belum pernah dikumpulkan oleh pihak lain manapun. Tujuannya adalah memberitahu publik tentang peristiwa atau situasi, yang mungkin akan mempengaruhi kehidupan mereka.

Sedangkan, pelaporan interpretatif berkembang sebagai hasil dari pemikiran dan analisis yang cermat, terhadap gagasan serta pengejaran fakta-fakta yang diikuti, untuk memadukan semua informasi itu dalam konteks yang baru dan lebih lengkap. Dengan cara ini, diharapkan bisa memberi pemahaman yang lebih mendalam pada publik.

Pelaporan interpretatif ini biasanya melibatkan seperangkat fakta dan isu-isu yang lebih kompleks, ketimbang sekadar pengungkapan biasa. Pelaporan interpretatif ini menyajikan cara pandang yang baru terhadap sesuatu, serta informasi baru tentangnya.

Pelaporan terhadap investigasi (reporting on investigations):

Pelaporan terhadap investigasi adalah perkembangan terbaru dari jurnalisme investigatif, yang semakin biasa dilakukan. Dalam hal ini, pelaporan berkembang dari temuan awal atau bocoran informasi, dari sebuah penyelidikan resmi yang sudah berlangsung atau yang sedang dipersiapkan oleh pihak lain, biasanya oleh badan-badan pemerintah.

Pelaporan terhadap investigasi bisa terjadi, manakala penyelidik resmi sedang bekerja. Penyelidik dari pihak pemerintah bekerjasama secara aktif dengan jurnalis pada kasus-kasus tertentu, karena sejumlah alasan. Seperti: untuk mempengaruhi anggaran derma (dari negara bagian)[7], untuk mempengaruhi saksi-saksi potensial, atau untuk membentuk opini publik.

Contohnya, sebagian besar dari pelaporan tentang perselingkuhan Presiden Bill Clinton dengan Monica Lewinsky sebenarnya adalah hasil investigasi, yang dilakukan kantor Penuntut Independen Kenneth Star, ditambah dengan informasi tandingan yang dibocorkan oleh pihak Gedung Putih atau para pengacara terkait.

Bandingkan dengan pelaporan investigatif skandal Watergate pada 1972, yang dilakukan jurnalis Washington Post, Bob Woodward dan Carl Bernstein. Sebagian besar hasil penyelidikan kasus tersebut, khususnya pada bulan-bulan awal yang kritis, adalah murni hasil kerja investigatif orisinal para jurnalis.

Mereka bicara langsung pada para narasumber utama tentang apa yang terjadi, bukan bicara pada tim penyidik resmi tentang apa yang mereka teorikan sudah terjadi. Skandal Watergate[8] ini kemudian berujung pada jatuhnya pemerintahan Presiden Richard Nixon.

Seorang jurnalis investigatif mungkin menghabiskan waktu yang cukup lama untuk riset dan menyiapkan laporannya, kadang-kadang bisa berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Sementara reporter harian atau mingguan biasa menuliskan berita-berita yang bisa dimuat segera. Laporan akhir seorang jurnalis investigatif biasanya berupa suatu pengungkapan kasus.

Langkah-langkah investigasi ini sering menuntut si reporter untuk melakukan banyak wawancara terhadap berbagai sumber, serta bepergian ke banyak lokasi. Tak jarang, reporter juga harus melakukan aktivitas seperti: pengintaian, analisis dokumen, menyelidiki kinerja peralatan yang terkait dengan suatu kecelakaan, dan sebagainya.

Jurnalisme investigatif menuntut kecermatan dalam detail (rincian), penemuan fakta, dan upaya fisik. Seorang jurnalis investigatif harus memiliki pikiran yang analitis dan tajam, dengan motivasi diri yang kuat untuk terus berupaya, ketika semua pintu informasi ditutup, ketika fakta-fakta dikaburkan atau dipalsukan, dan seterusnya.

Beberapa cara yang bisa digunakan jurnalis untuk menemukan fakta:

•· Mempelajari sumber-sumber yang sering diabaikan, seperti arsip, rekaman pembicaraan telepon, buku alamat, catatan pajak, dan perizinan.

•· Bicara kepada warga di lingkungan sekitar.

•· Menggunakan sumber riset berlangganan (di internet).

•· Sumber-sumber anonim. Misalnya, orang dalam yang membocorkan informasi (whistleblowers).

•· Melakukan penyamaran.

Jurnalisme investigatif dapat dibedakan dengan pelaporan analitis (analytical reporting). Jurnalisme analitis memanfaatkan data yang tersedia dan mengatur ulang data tersebut, sehingga membantu kita dalam mempertanyakan suatu situasi atau pernyataan, atau memandangnya dengan cara yang berbeda. Sedangkan, jurnalis investigatif bergerak lebih jauh dari sekadar pelaporan analitis, serta ingin mengetahui apakah situasi yang dihadapkan pada kita itu adalah benar-benar realitas.

Jurnalisme investigatif juga dapat dibedakan dengan pelaporan mendalam (indepth reporting). Indepth reporting merupakan suatu laporan mendalam terhadap suatu obyek liputan, biasanya yang menyangkut kepentingan publik, agar publik betul-betul memahami obyek tersebut.

Namun, berbeda dengan peliputan investigatif, indepth reporting tidak memfokuskan diri pada penyingkapan suatu kejahatan, kesalahan, penyimpangan, atau kejahatan tersembunyi, yang dilakukan pihak tertentu. Sifat indepth reporting lebih pada memberi penjelasan pada publik. Sementara proses pencarian informasinya sendiri juga tidak menuntut dilakukannya investigasi, karena boleh jadi informasi itu bersifat terbuka dan mudah diakses.

Sedangkan pelaporan investigatif berasumsi bahwa ada sesuatu yang salah, atau ada suatu pihak yang telah berbuat salah. Kesalahan yang sengaja disembunyikan atau belum terkuak itulah yang menjadi target peliputan investigatif.

Gaji Wartawan Indonesia; Liputan Lebih Menjanjikan Daripada Gaji Bulanan Dari Perusahaannya!

Wartawan (jurnalis) masih dianggap pekerjaan profesional yang bukan tergolong sebagai buruh atau "pekerja biasa". Banyak yang tidak sepakat dan keras mendebat, ketika profesi wartawan diidentikkan dengan kaum buruh yang konotasi umumnya selalu tertindas, menerima upah rendah dan kesejahteraannya "payah".

Padahal, sejak awal Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menggolongkan wartawan tak ubahnya sebagai buruh karena secara reguler bekerja untuk mendapatkan gaji dan pendapatan yang layak bagi penghidupannya.

Menurut Adi Prinantyo, wartawan Kompas yang juga Divisi Serikat Pekerja AJI Indonesia, para jurnalis itu berbeda ciri dengan "pekerjaan" profesi seperti dokter praktek, tukang ojek, atau petani yang memiliki lahan dan menguasai alat produksi.

Jurnalis tak jauh beda dengan buruh pabrik dan petani penggarap yang tidak menguasai alat produksi, tapi bergantung pada pemilik alat produksi (pengusaha media).

Umumnya jurnalis/wartawan itu bekerja pada perusahaan media tertentu dan mendapatkan upah dari pekerjaannya, sehingga sangat jelas mencirikan sebagai pekerja atau buruh.

Kepentingan pekerja adalah mendapatkan upah yang layak, terdiri dari gaji dan tunjangan serta memperoleh kondisi kerja yang memadai (waktu kerja, sarana kesehatan dan keselamatan kerja maupun aturan di tempat kerja).

Menurut Dewan Pers, saat ini tersebar 829 buah media cetak, 2.000-an stasiun radio, dan 65 stasiun televisi. [media online???]

Namun hanya 249 perusahaan media cetak yang berkualitas atau hanya 30 persen, sementara media elektronik yang layak bisnis hanya 10 persen. Survai AJI pada 2005, di Indonesia masih ada media yang menggaji jurnalisnya Rp200 ribu per bulan, sebuah angka yang masih jauh dari upah minimum yang ditetapkan pemerintah.

Menurut survai AJI Jakarta 2006, upah layak minimum jurnalis Jakarta sebesar Rp 3,1 juta. Padahal realitasnya "jauh panggang dari api", karena fakta menunjukkan masih banyak jurnalis bergaji rendah.

Bahkan di Lampung, diperkirakan cukup banyak jurnalis nyaris tidak bergaji atau hanya mengandalkan kartu pers (ID Card) wartawan yang dimiliki untuk mendapatkan penghasilan dari sumber berita dan pihak lain.

Hasil survai AJI mengenai keadaan media pers dan kehidupan para wartawannya di 17 kota besar yang hampir seluruhnya ibukota provinsi menunjukkan wartawan, dan perusahaan pers, pada umumnya masih berada dalam posisi yang kurang beruntung.

Sejumlah 29,1 persen wartawan yang berpendidikan S1 masih bergaji di bawah Rp1 juta sebulan, sedangkan menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pekerja berpendidikan S1 pada tahun 2003 memperoleh gaji rata-rata Rp 1,48 juta.

Tenaga profesional, menurut BPS, rata-rata bergaji Rp1,1 juta sebulan, sedangkan 34 persen wartawan bergaji di bawah Rp1 juta. Lebih mengenaskan, masih ada wartawan yang gajinya kurang dari Rp200.000 sebulan, walaupun hanya 1,5 persen dari jumlah wartawan yang disurvai.

Tapi jauh lebih banyak lagi wartawan yang gajinya kurang dari rata-rata upah minimum setempat, yaitu 11,5 persen. Wartawan yang memperoleh gaji kurang dari Rp1.800.000, suatu jumlah yang tetap tidak akan cukup untuk dapat menghidupi seluruh keluarga secara memadai, berjumlah 64,3 persen dari yang disurvai.

Akibatnya, 20 persen wartawan yang disurvai harus memiliki pekerjaan sampingan, yang di antaranya dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan profesinya sebagai wartawan.

Malahan, 61,3 persen menganggap pemberian "amplop" (umumnya berupa uang) oleh narasumber atau subjek berita kepada wartawan dapat diterima jika gaji dan jaminan kesejahteraan tidak dapat mencukupi keperluan hidup mereka bersama keluarganya.

"Ibaratnya, wartawan Indonesia itu seperti hasil survei AJI Indonesia itu yang umumnya besar di luar tapi kecil di dalam perusahaan sendiri," kata Atmakusumah Astraatmadja, pengajar Lembaga Pers Dr Soetomo (LPDS) dan Ketua Dewan Pengurus Voice of Human Rights (VHR) News Centre.

Di Lampung, menurut pengakuan beberapa wartawan media mingguan termasuk salah satu harian setempat, masih ada wartawan nyaris tidak bergaji atau hanya mengandalkan kartu pers yang dimiliki untuk memperoleh penghasilan dari profesinya.

"Untung banyak narasumber tidak pelit, sehingga setiap kali selesai wawancara, mengikuti suatu acara atau beritanya dimuat, mereka memberikan imbalan berupa uang transport yang jumlah bervariasi," tutur salah satu wartawan.

Dia bahkan menyebutkan, nilai nomimal uang yang diterima dari "orang luar" (berupa amplop) itu justru lebih besar dibandingkan yang didapatkan dari kantor medianya sendiri.

Padahal Kode Etik Jurnalistik Wartawan--PWI, AJI atau KEWI--memberikan pedoman bahwa wartawan tidak dibolehkan (AJI: haram!) menerima amplop atau pemberian berupa materi dan fasilitas lain dari narasumber maupun pihak lain berkaitan dengan pemberitaan serta profesi yang dijalankan.

Atmakusumah juga mengingatkan adanya panduan Dewan Pers pada 11 Oktober 2001 tentang "Mengatasi Penyalahgunaan Profesi Wartawan" yang menjelaskan: "Masyarakat tidak perlu memberikan imbalan (dikenal sebagai "uang amplop") kepada wartawan yang mewawancarai atau meliput.

Menurut Atmakusumah, dengan tidak memberikan "amplop" (dalam konferensi pers atau seusai wawancara), berarti masyarakat turut membantu upaya menegakkan etika wartawan serta berperan dalam memberantas praktik penyalahgunaan profesi wartawan.

Berkaitan dengan peringatan Hari Buruh Internasional pada 1 Mei 2007, AJI Indonesia bersama perwakilan AJI di daerah-daerah--termasuk yang tergabung dalam Aliansi Buruh Menggugat (ABM)--ikut turun ke jalan untuk bersama-sama menyuarakan tuntutan upah yang layak bagi jurnalis, seperti pula upah layak bagi kaum buruh dan pekerja umumnya.

AJI juga mengimbau para wartawan untuk berserikat dan berorganisasi di perusahaan masing-masing untuk dapat memperjuangkan hak-haknya. Pada kenyataanya, jurnalis juga sebagai buruh yang nasibnya masih belum secerah yang diharapkan, karena upahnya masih jauh dari layak dibandingkan dengan upah jurnalis di Malaysia atau Thailand, apalagi dengan para jurnalis di negara maju.

"Gaji jurnalis Indonesia hanya seperempatnya. Karena itu, kami akan menuntut gaji yang layak," kata Koordinator Divisi Serikat Pekerja AJI Jakarta, Winuranto Adhi. Kelayakan gaji bagi wartawan akan berpengaruh terhadap proses dan hasil pekerjaannya yang dituntut oleh masyarakat selalu benar, objektif, faktual, berimbang dan bermanfaat bagi publik.

Bagaimana akan muncul sosok wartawan yang profesional, beretika, independen dan kritis, kalau "tak bergaji" layak dan setiap hari terus menggantungkan harapan pendapatan dari pihak lain yang bisa "mengatur" pemberitaan yang akan dibuat? yah sebut saja mereka BODREXlah...

PENA | Untuk Penulis dan Wartawan

Sekolah Online Rumah Tulis Kontak Kami
Beranda
BERITA
Berita Utama
Internet
AGENDA
Lomba
Training/Kursus
Seminar
Pameran
Peluncuran Buku
STUDI & KIAT
Studi Jurnalisme
Studi Penulisan
Kiat Jurnalisme
Kiat Penulisan
PELUANG
Beasiswa
Lowongan
TANYA-JAWAB
Anda Bertanya
Pena Menjawab
REHAL
Pustaka
Situs
ALAMAT PENA

Gedung Graha Paramadina
Pondok Indah Plaza III, Blok F5,
Jl. TB Simatupang,
Jakarta 12310.
Telp/Fax: 021-75907858
Recent blog posts
Republik Ad-Hoc
Tiga Cangkir Teh Perdamaian
Jurnalisme, Satir Politik Internasional dan Perang Bosnia
FILM - "No Volveran", Venezuela dan Indonesia
"Hak Individu" vs "Harmoni Sosial"
Analisis yang Bagus
more Home
Kiat Penulisan
Keranjingan Akronim: Di Bawah Tirani "SU" (oleh Farid Gaban)

Satu hal yang perlu dipertimbangkan dalam menulis berita atau artikel adalah menghindari akronim dan singkatan. Namun, keranjingan akan akronim begitu kuat, menjalar hingga media daerah. Di Medan, misalnya, koran setempat memakai banyak akhiran "su" untuk mewakili kata "Sumatera Utara".
Kiat Penulisan Read more
Menyingkat Tulisan tanpa Membuat Singkatan

Makin banyak akronim/singkatan dan jargon dalam sajian berita di koran-koran kita. Salah satu alasan yang sering kita dengar dari para wartawan: membuat singkatan untuk menghemat ruang. Tapi, benarkah membuat singkatan artinya menghemat ruang?
Kiat Penulisan Read more
Menghindari Jargon

Jargon dan singkatan seperti berlomba muncul setiap hari dalam berita media massa. Padahal, dua penyakit ini semestinya pelan-pelan dienyahkan karena menghambat komunikasi dan pertukaran informasi.
Kiat Penulisan Read more
Tentang Kata "Pasca"

Ada banyak kata "pasca" yang tidak sesuai dalam penulisan berita di media massa. Kita cenderung keliru atau tidak tepat mengganti kata "setelah" menjadi "pasca".
Kiat Penulisan Read more
Menulis Esai

Oleh Farid Gaban

Kenapa esai astronomi Stephen Hawking ("A Brief History of Time"), observasi antropologis Oscar Lewis ("Children of Sanchez") dan skripsi Soe Hok Gie tentang Pemberontakan Madiun ("Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan") bisa kita nikmati seperti sebuah novel?

Kenapa tulisan manajemen Bondan Winarno ("Kiat") dan artikel
Kiat Penulisan Read more
Lukiskan, Bukan Katakan

Oleh Farid Gaban
Pernahkah Anda membaca sebuah tulisan dan sampai bertahun kemudian Anda masih ingat gambaran dalam tulisan itu?

Kita umumnya terkesan pada sebuah tulisan yang mampu melukis secara kuat sebuah gambaran di dalam otak kita. Deskripsi yang kuat adalah alat yang digdaya bagi para penulis, apapun yang kita tulis: esai, artikel, feature, berita, cerpen, novel atau puisi.
Kiat Penulisan Read more
Memilih dan Menulis Kutipan

Oleh Farid Gaban
Kutipan adalah cara yang paling indah dan efektif untuk menyajikan cerita dalam kerangka yang manusiawi.

Kutipan hanya akan bagus jika:
* Memperkuat kredibilitas sebuah cerita (misalnya dengan menghadirkan
sumber yang kompeten dalam cerita).
* Menggambarkan aktivitas secara lebih hidup atau lebih tepat daripada yang bisa digambarkan dengan cara lain.
Kiat Penulisan Read more
Menemukan Ruang Pribadi untuk Menulis


Training Ecosister: Salah satu training penulisan Pena

Sebagian besar kita tidak punya kemewahan memiliki ruang pribadi khusus menulis yang tak terganggu keluarga atau orang lain. Tapi, tiadanya ruang untuk menulis tak mesti membuat kita patah semangat. Dengan keinginan kuat dan sejumlah kreativitas, Anda sebenarnya mudah menemukan tempat seperti itu.
Kiat Penulisan Read more
Training
Workshop Penulisan Buku Memoir
Training Jurnalisme Investigatif Pemilu
Pelatihan Menulis Buku 24 Halaman
more
Studi Jurnalisme
Menulis Berita Jangan dari Satu Sumber
Keranjingan Jargon
ANTARA dan Pemenuhan Kebutuhan Informasi Publik
more
Search

STANDAR KOMPETENSI WARTAWAN, SUATU KEHARUSAN

"Masyarakat yang cerdas terbentuk dari wartawan yang cerdas, wartawan yang cerdas ada jika standar kompetensi wartawan tercapai," kata Wakil Ketua Dewan Pers, Sabam Leo Batubara, dalam diskusi "Standar Kompetensi Wartawan" di Pontianak, awal Mei.

Kecerdasan wartawan dalam mengangkat persoalan atau informasi untuk disiarkan, akan membantu menambah pengetahuan dan wawasan, serta membuka pemahaman pembaca terhadap suatu permasalahan yang sedang terjadi. Wartawan yang cerdas ada karena profesionalisme yang dibangun dengan baik dan ditandai dengan kualitas atau mutu karya yang dihasilkan wartawan tersebut.

Namun, kondisi yang terjadi di Indonesia dewasa ini, kualitas wartawan dipertanyakan. Kualitas wartawan yang diukur melalui "Kompetensi", dewasa ini tampak semakin terpinggirkan, karena turunnya reputasi (nama baik) dan harga diri mereka yang berkecimpung dalam profesi itu. Kondisi ini, memerlukan perhatian serius banyak pihak.

Ada banyak kasus yang mengakibatkan reputasi dan harga diri wartawan rusak. Salah satunya, karena ulah segelintir oknum atau pun pihak yang mengatasnamakan wartawan atau jurnalis. Contoh kasusya, pemerasan dengan korban mulai dari masyarakat biasa hingga pejabat pemerintah. Pelaku pemerasan, mengaku sebagai wartawan, berhasil mendapatkan uang dari korban-korban yang takut kesalahannya terbongkar dan diketahui masyarakat. Reputasi wartawan menjadi rusak. Karena para korban -- tentu saja tetap -- akan menuding wartawan sebagai pelaku pemerasan, tanpa melakukan pengecekan dahulu.

Terkait kasus itu, kompetensi menjadi faktor penting yang harus dicapai seseorang berprofesi wartawan atau jurnalis. Sehingga terdapat pembeda antara wartawan asli dengan wartawan gadungan atau istilah populernya "bodrek". Wartawan yang sesungguhnya (diharapkan) bisa berpikir "seribu kali" jika hendak melakukan aksi serupa. Adanya kompetensi, juga menjadi pembeda dalam persoalan intelektualitas dan kualitas.

Sesungguhnya, apa yang dimaksud dengan kompetensi wartawan?
Tampaknya juga masih perlu penjelasan. Menurut Ketua Program Studi Magister Ilmu Komunikasi Universitas Prof DR Moestopo, DR Gati Gayatri, yang dimaksud dengan "Kompetensi Wartawan", kemampuan seorang wartawan melaksanakan kegiatan jurnalistik yang menunjukkan pengetahuan dan tanggung jawab sesuai tuntutan profesionalisme yang dipersyaratkan.

Kompetensi, menurut Dewan Pers dalam buku "Kompetensi Wartawan", Pedoman Peningkatan Profesionalisme Wartawan dan Kinerja Pers, mencakup beberapa aspek. Yakni aspek penguasaan keterampilan, pengetahuan, dan kesadaran. Ketiga aspek itu, diperlukan dalam melaksanakan tugas jurnalistik. Kesadaran mencakup di dalamnya, etika, hukum dan karir.

Sementara Pengetahuan, meliputi pengetahuan umum, pengetahuan khusus dan pengetahuan teori jurnalistik dan komunikasi (sesuai bidang kewartawanan). Sedangkan keterampilan, mencakup penguasaan menulis, wawancara, riset, investigasi, kemampuan penggunaan berbagai peralatan yang terkait dengan pekerjaan wartawan.

Pencapaian kompetensi

Upaya apa saja yang dapat dilakukan untuk pencapaian kompetensi?
Untuk mencapai standar kompetensi bagi wartawan, tidak bisa dipisahkan dengan keberadaan perusahaan pers. Menurut Leo Batubara, perusahaan pers yang baik harus memenuhi standar profesional, seperti; memiliki kompetensi sebagai pebisnis media, mengoperasikan SDM yang memenuhi standar kompetensi, memiliki atau minimal mampu menyewa peralatan yang diperlukan dan memiliki modal yang cukup.

Kenyataannya, dari 829 perusahaan pers yang ada saat ini, hanya 30 persen saja yang sehat bisnis. Selebihnya tidak sehat secara bisnis. Negara juga punya tanggung jawab untuk standar kompetensi wartawan dengan mendirikan sekolah jurnalistik sebagai wadah pendidikan bagi wartawan, melakukan reformasi politik hukum negara yang mengkriminalisasi pers dan mengubah penyelenggaraan negara yang punya kecenderungan mengekang dan mengontrol pers.

Selain itu, ada beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mencapai standar kompetensi wartawan, seperti melalui pendidikan jurnalistik, pelatihan jurnalistik dan sistem pengembangan karir dimana wartawan memiliki level tertentu, meliputi yunior, madya, dan senior. Penentuan itu berdasarkan kemampuan pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki.

Pada umumnya, wartawan yunior, madya, dan senior, bukanlah lulusan dari lembaga pendidikan tinggi khusus bidang tersebut. Hal ini tentu saja memperpanjang proses pencapaian kompetensi, bila dibandingkan mereka yang memang lulusan pendidikan (S1) jurnalistik, komunikasi atau publisistik. Masalah tersebut, meski masih dapat diatasi dengan adanya pelatihan jurnalistik yang disediakan oleh sejumlah lembaga pendidikan atau pun pengelola media massa, namun hal itu masih amat jarang ada.

Kebanyakan perusahaan media, langsung melepas wartawan muda/yunior untuk terjun ke lapangan, tanpa terlebihdahulu dibekali pemahaman ilmu dan pengetahuan bidang jurnalistik atau kewartawanan. Sehingga ketika menulis berita, ditemukan banyak kesalahan dan kekuranglengkapan informasi yang hendak disampaikan kepada publik.

Pendidikan dan pelatihan menjadi penting, sehingga karir jurnalistik bisa berkembang. Pendidikan dan pelatihan, menjadi syarat bagi seorang jurnalis jika ingin berkembang dan profesional dalam menjalankan pekerjaan. Seorang wartawan yang menjalankan tugas jurnalistik dengan profesional, akan dihargai di muka publik.

Pada akhirnya, seorang wartawan atau jurnalis, harus punya kemampuan dan kompetensi di dalam menjalankan profesinya. Tanpa itu semua, mustahil kemajuan di bidang jurnalistik bisa dicapai.

Jurnalis Masa Depan Harus Berbekal Tiga Kemampuan

Sekretaris Jendral Pusat Media dan Informasi Asia, Dr Indrajit Banarjee mengatakan jurnalis masa depan harus memiliki tiga keterampilan sekaligus, yakni kemampuan melaporkan, kemampuan menganalisa, dan kemampuan akademik agar mampu memberikan berita berkualitas bagi publik.

"Pertumbuhan media massa yang cukup pesat tidak diikuti peningakatan kualitas para jurnalis, sehingga banyak berita yang yang hanya sekedar disampaikan ke publik tanpa ada analisa mendalam," katanya dalam diskusi tentang Jurnalisme dan Tantangan di Abad 21, di kantor pusat The Habibie Center, Jakarta, Kamis.

Dalam diskusi bersama sejumlah pengamat dan pekerja media massa itu Indrajit mengatakan kemampuan untuk melaporkan sebuah peristiwa telah dimiliki oleh para jurnalis, namun hal ini tidak dilengkapi keterampilan untuk menganalisa sebuah persoalan. Masyarakat kini semakin cerdas sehingga sebuah pemberitaan idealnya juga dipahami dan dikritisi.

"Jadi menurut saya seorang jurnalis harus menempuh pendidikan jurnalistik agar mereka memiliki pengetahuan dasar, kalaupun pendidikan S-1 bukan bidang jurnalistik setidaknya media massa tempatnya bekerja memberi pendidikan jurnalistik yang memadai," katanya.

Kualitas jurnalis yagn semakin baik, lanjutnya, pada akhirnya juga berdampak baik pada media massa dan produk jurnalistik yang dihasilkan.

"Jurnalis juga harus memiliki kemampuan intelektual untuk memahami perubahan dunia. Saat ini dunia menjadi sangat global, apa yang terjadi di suatu negara akan berpengaruh besar pada negara-negara lain sehingga jurnalis harus mempunyai gambaran berpikir yang luas dan pandangan yang jauh ke depan," katanya.

Terkait peran media massa, Indrajit mengatakan media massa harus berubah mengikuti perkembangan zaman sebagaimana jurnalis berupaya meningkatkan kemampuannya.

"Ke depan, media massa apapun bentuknya (online, cetak, tv-red) harus berubah, karena masyarakat kita juga berubah," katanya.

Ia menjelaskan masyarakat yang semakin modern dan sibuk dengan banyak aktivitas hanya memiliki sedikit waktu untuk membaca berita. Karena itu media massa harus menyesuaikan diri dengan baik agar tidak ditinggalkan peminatnya.

"Pada prinsipnya baik media massa maupun jurnalis harus sama-sama merespon perubahan zaman agar agar menghasilkan output yang maksimal bagi masyarakat karena tugas media dan jurnalis adalah melayani masyarakat dengan memberi informasi dan berperan di bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya," demikian kata Indrajit

Jumat, 06 Maret 2009

ketika sudah tiada kekuatan lagi


Tiada pernah aku menjelma dalam sebuah apapun.
Tak juga menjadi orang laen dalamm perjalanan masaku.
Aku adalah diriku sendiri.
Penuh beban berat, tiada seorang matapun menatap tangisku.
Lakaran kehidupan yang telah kupilih adalah duri bagiku.

Ketika sudah tidak ada yang bisa dituliskan.
Ketika sejarah sudah tidak dapat diceritakan dengan kata-kata.
Maka sebaiknya aku diam.
Tidak nyinyir kesana kemari.
Mengatakan yang tak terkatakan.
Diam adalah solusi.

Ketika kata-kata hanya memperkeruh air yang sudah tenang.
Sehingga kehilangan kejernihannya.
Maka sejenak menarik diri.
Memikirkan langkah terbaik dalam hening.
Hiruk pikuk, silahkan kau nikmati sepuasnya.
Aku pergi dulu…………………………………..

Aku yang hampar...........
Aku yang tersungkur...........
Aku yang terbelangkai.........
aku yang mati................suri dalam diri sepi.......tanpa nyanyi atau riang irama, maupun bau melati..................

Syair Kerinduan Sang Pecinta


buat kamu yang belum aku kenal, namun terasa ada dimataku yang tidak sipit


Engkau Kesejatian
Bangunkan aku dari mimpi
Yang menggetar pusat jiwa
Meluap darah menembus sukma
Jangan biarkan aku mati karena bahagia
Sebab aromamu adalah tangisan kepedihan
Akan kerinduan manusia yang berharap sepanjang masa
Engkau Keniscayaan
Kegembiraanku tak terucap dengan kata
Hidup rasa haru biru
Ketika kalbumu menembus relung-relung yang tak terjangkau
Dalam palung hidup tanpa dasar
Engkau yang….kucinta…..
Tidakkah kau tahu kekeluan karena cinta yang dahsyat
Adalah sumber kegilaan para pujangga ?
Jangan memelukku dalam mimpi-mimpi,
Jangan menciumku dalam kemayaan,
Jangan ucapkan sayang dalam jarak yang tiada batas
Tapi sentuhlah dengan kelembutankulitku yang hendak binasa
Untuk merayakan keabadian cintamu yang murni
Dalam detik dilingkup pesona nyata alam kepastian
Karena aku takut semua ini tiada
Semua ini hanyalah proyeksi batin yang kesepian
Berpetualang mencari keindahan dan kesemarakan pulau utopia yang tak pernah ada
Pernahkah Engkau bertanya apa itu cinta ?
Mengapa ada cinta ?
Darimana cinta?
Mengapa engkau mencinta ?
Dan
Mengapa engkau ingin dicinta ?
Mengapa aku menjadi pecintamu seakan engkau pasangan jiwa yang pernah hilang dalam kekelaman perjalanan di negeri tak terdefinisi beratus abad yang silam ?
Aku tak sanggup memikirkan semua pertanyaan itu
Karena ini adalah sebuah misteri keabadian
Yang ditulis dengan huruf-huruf klasik sang penggagas agung
Sumber kecerdasan dari semua yang ada
Apakah kau yakin jagad raya itu punya batas
Atau
Kau lebih yakin jagad raya tak berbatas ?
Mana yang kau pilih
Bisakah kau membuktikannya
Apakah kau bisa memberikan data dan fakta yang obyektif
Mengenai keterbatasan jagad raya
Apapun pilihanmu semua berdasr kepada keyakinanmu sendiri
Demikian juga dengan cinta
Siapa bisa memastikan
Siapa bisa menjelaskan
Siapa bisa memberikan data absolut
Apakah cinta kita sesemarak percikan kembang api dalam hitungan detik
Atau
Apakah cinta kita selembut spoi yang menjelajah
Di setiap celah-celah istana tak terambah
Dalam dimensi kekekalan
Hingga yang ada tiada dan yang tiada kembali ada
Semua itu hanya keyakinan
Keyakinan membawamu kepada kebenaran sejati
Yang tak terungkap oleh bahasamu
Keyakinan berkuasa untuk menciptakan, untuk membangun, untuk meruntuhkan, untuk menghancurkan
Dimana keyakinanmu ?
Apakah kau yakin akan keabadian cinta, akan kesetiaan, akan kejujuran,
Akan masa depan dalam Tuhan, akan kesederhanaan, Akan keindahan batin yang tersirat melebihi segala apa yang nampak, akan kemurahan kepada sesama, dan akan persahabatan dengan dengan alam semesta
Maukah kau kudekap dalam kedamaian keyakinan-keyakinan itu
Dan tak pernah kulepas lagi dalam kekelaman perjalanan tiada akhir atas segala keinginan srakah manusia
Biarlah cintamu mendamaikan kerinduanku
Selalu