Rabu, 03 Juni 2009

Cara memegang kamera


Perekaman normal
1.Agar selalu membuka mata Anda pada saat perekaman sehingga Anda dapat melihat tujuan dan apa yang terjadi di sekitar Anda.
2.Letakkan kamera di bahu kanan dan pegang erat dengan kedua tangan Anda.
3.Dekatkan penampang mata viewfinder sedekat mungkin dengan mata kanan Anda.
4.Berdiri dengan tegap dan kaki agak melebar.
5.Disarankan untuk menggunakan tripod (opsional) untuk menghasilkan gambar stabil jika dimungkinkan.
Perekaman sudut rendah
Sesuaikan jarak monitor LCD dengan posisi memegang kamera
1.Jika kamera tidak dipegang dengan erat dan stabil, gambar dalam monitor LCD tidak dapat dilihat dengan benar.
2.Tombol mulai sub perekaman/stop dan sub pengaturan zom di depan kamera dapat digunakan untuk perekaman jarak jauh.
Untuk gambar lebih stabil
1.Stabilkan kamera dengan menopang siku Anda pada meja atau permukaan horizontal yang stabil lainnya

Jenis – jenis pergerakan kamera dalam teknik penyotingan
1.Panning adalah gerakan kamera menyamping. Pann left gerakan ke arah kiri dan pann right gerakan ke arah kanan.
2. Tilting adalah gerakan kamera secara vertical atau atas bawah. Tilt Up gerakan naik dan Tilt Down gerakan turun.
3. Tracking adalah gerakan kamera dengan arah maju dan mundur atau depan belakang, bisa dengan bantuan doly atau rel kereta. Track In gerakan maju kedepan dan Track Out gerakan mundur kebelakang.
4. Crane adalah gerakan kamera meninggi atau merendah.
5. Following adalah gerakan kamera mengikuti objek atau actor.






UU no 40/1999, Ulasan Implementasi Sejak 1999 hingga 2009
(Praktek dan Kode Etik)*)
Oleh: Maqbul Halim**)
 
 
Suatu larut malam, 18 Februari 2006 pukul 21.30, komandan Tim Buser kepolisian setempat memberitahukan lewat SMS kepada jurnalis supaya bertemu di Hotel Tyquali, sebuah kawasan wisata elit di pinggiran kota pelabuhan Belawan, Sumatera Utara. Setengah jam kemudian, wartawan dan tim buser dari kepolisian berkumpul di base-men sebelum lamat-lamat merayap ke lantai enam hotel itu. Para kameramen stasiun TV berita mengarahkan sinar “lighting”-nya mengejar polisi yang bergerak nyaris tanpa bunyi menyisir tangga darurat. Tak ada percakapan sepanjang pergerakan itu. Sosok tubuh kekar dan tinggi di baris paling depan terus memperbaharui informasi terbaru pada pasukannya di belakang dengan bahasa isyarat yang menggunakan pergerakan tangan. Langkahnya agak terburu-buru namun tetap terampil meredam dentang sol sepatunya yang mendebam di atas lantai karpet.
 
“Gemuruh” mereka terhenti ketika tepat di depan salah satu kamar di lantai enam. Sebuah kamar yang tergolong VIP dan jendelanya menghadap ke laut (sea view room) sedang diketuk-ketuk. Tamu hotel yang lain, wartawan, kameramen, fotografer, dan yang lainnya yang menyerta telihat sedang dalam diam-senyap menanti respon dari pemilik kamar yang pintunya sedang digedor itu. Di gagang pintu kamar itu, tergangtung kartu laminating memberi perhatian, “Jangan Diganggu” / ”Don’t Disturb”. Ketukan pertama tidak direspon. Ketuka kedua juga tidak direspon. Ketukan ketiga yang lebih keras tidak direspon. Ketukan keempat yang jauh lebih keras lagi tidak direspon.
 
Sosok tubuh kekar yang mengomandoi operasi ini pun menghentakkan suara lantangnya, “Siapapun anda di dalam kamar ini, segera buka pintunya!” Hingga kali ini, pun tidak suara atau respon apapun dari dalam kamar itu. Sosok tubuh kekar itu pun mencoba membenturkan tubuhnya ke sisi pintu yang masih kaku menutup kusen pintu kamar itu. Rupaya benturan tidak ada gunanya. Namun demikian, geletuk suara mulai terdengar dari balik pintu. Baru ketahuan ada sebuah kegiatan di balik pintu kamar itu. Gemericik grendel daun pintu terdengar, sebuah logam sedang beradu dengan logam yang lain dan mengenggetar ke sekujur sisi pintu yang masih tertutup itu.
 
“Anda begitu berani dan lancang. Tidakkah anda membaca pesan yang tergantung di gagang pintu ini. Kami yakin, anda tidak punya urusan di sini. Atau anda akan menyesal.” Begitulah ucapan yang terlontar dari seseorang yang tidak menampakkan sosok tubuhnya di balik pintu yang baru terkuak sekitar 15 senti itu. Pintu itu memang tidak bisa dikuak lebar karena masih terjaring rangai grendel pintu. Usai memberitahukan, orang itu pun menutup kembali pintu. Sosok tubuh kekar yang memang sudah sigap, dengan ayunan kaki panjangnya, kaki lebih cepat menghantam sisi pintu, tepat di mana rangka grendel menempel. Upaya penghuni kamar tadi menutup pintu terlambat. Grendel pintu terburai dan gagang pintu bagian dalam dan luar terlempar beberapa meter ke dalam kamar. Salah satunya membentur kepala seseorang penghuni kamar itu yang sedang merapikan sebuah jas yang kelihatannya baru saja ia kenakan. 
 
Setelah pintu itu terkuak, sosok tubuh kekar itu pun memberi aba-aba kepada pasukannya untuk segera menyeruduk masuk menggeleda kamar itu. Lima orang di dalam kamar itu duduk terkulai lemas di tepian dua tempat ditidur sembari melindungi wajahnya dari sorotan lighting kameramen dan fotografer dengan menggunakan jas yang ia kenakan. Kawanan polisi ini pun berhasil menyita berbagai macam barang bukti. Selain itu, seorang polisi langsung meraih sebuah buku cetak dari sakunya dan membacakan berbagai pasal pidana isi buku itu yang berkaitan dengan barang-barang bukti yang terkumpul. Semua disampaikan dengan tegas dan cepat kepada kelima penghuni kamar itu. “Bapak-bapak berhak diam. Kalau bapak menginginkan pengacara, dengan senang hati kami bersama bapak-bapak akan menunggu pengacara itu di kantor kami sebelum pemeriksaan dimulai,” ujar polisi itu sembari menutup buku “pasal-pasal”-nya.
 
Penggerebekan ini hanya berlangsung selama 15 menit. Wartawan dan kameramen yang menyertai penggerebekan itu terperanga. Pasalnya, tiga dari lima orang penghuni kamar itu adalah orang-orang yang kerap mereka wawancarai selama ini. Satu di antaranya adalah seorang bupati di Sumatera Utara. Seeorang lagi Wakil Gubernur propinsi Timor-Timur. Seorang adalah bupati pada salah satu kabupaten di propinsi Banten. Dua orang lainnya adalah pengusaha masing-masing dari Jakarta, Surabaya, dan Lampung. Ketika kelima orang ini digelandang masuk ke mobil super kijang yang dikawal-kepung brimob bersejata, masyarakat disekitar hotel itu tidak ingin ketinggalan. Meskipun akhirnya masyarakat itu pasrah karena tidak bisa mengetahui secuil identitas kelimat orang yang kepalanya sedang ditutup kain hitam itu.
 
Bukan berarti masyarakat sekitar hotel itu telah kehabisan kesempatan untuk mengetahui kelima orang yang digelandang itu. Mereka menyaksikan rombongan yang keluar dari mulut pintu hotel itu juga disertai oleh puluhan wartawan surat kabar, radio, dan televisi. Mereka yakin bahwa  pada keesokan harinya di pagi buka, mereka akan mengetahui semua itu melalui saluran-saluran televisi dan radio serta lembaran halaman muka surat kabar. Hari esok itu pun telah tiba. Keesokan harinya lagi pun juga sudah tiba. Dan hingga seminggu kemudian, tak satu pun saluran televisi, radio dan surat kabar yang memberitahukan mengenai penggerebekan seminggu sebelumnya itu. Yang ada hanya berita tentang faksinasi folio, virus antraks, flu burung, ulang tahun partai anu, peresmian ini, dan seterusnya.
 
(kisah ini, termasuk tokoh, peristiwa, tempat, adalah fiktif)
 
***
 
Menurut Bill Kovach dan Tom Rosienstel (Kurator Nieman Foundation for journalist dan Kritikus harian Los Angeles Times), tujuan utama jurnalisme adalah menyediakan informasi yang diperlukan orang agar bebas dan bisa mengatur diri sendiri. Untuk memenuhi tugas ini, maka:
 
1.Kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran.
2.Loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada warga.
3.Intisari jurnalisme adalah disiplin dalam verifikasi.
4.Para praktisinya harus menjaga independensi terhadap sumber berita.
5.Jurnalisme harus berlaku sebagai pemantau kekuasaan.
6.Jurnalisme harus menyedian forum publik untuk kritik maupun dukungan warga.
7.Jurnalisme harus berupaya membuat hal yang penting menarik dan relevan.
8.Jurnalisme harus menjaga agar berita komprehensif dan proporsional.
9.Para praktisinya harus diperbolehkan mengikuti nurani mereka.
 Dalam pasal 7 ayat (2) UU No 40/99 tentang Pers, jurnalis diperkenankan memiliki dan menaati kode etik jurnalistik. Kode Etik Wartawan Indonesia (KWI) :
1.Wartawan Indonesia menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar;
2.Wartawan Indonesia menempuh tata cara yang etis untuk memperoleh dan menyiarkan informasi serta memberikan identitas kepada sumber informasi;
3.Wartawan Indonesia menghormati asas praduga tak bersalah, tidak mencampurkan fakta dengan opini, berimbang dan selalu meneliti kebenaran informasi serta tidak melakukan plagiat;
4.Wartawan Indonesia tidak menyiarkan informasi yang bersifat dusta, fitnah, sadis dan cabul, serta tidak menyebutkan identitias korban kejahatan susila;
5.Wartawan Indonesia tidak menerima suap, dan tidak menyalahgunakan profesi;
6.Wartawan Indonesia memiliki hak tolak, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang dan off the record sesuai kesepakatan; dan
7.Wartawan Indonesia segera mencabut dan meralat kekeliruan dalam pemberitaan serta melayani hak jawab.

Struktur Penulisan Berita TV



Ada perbedaan besar antara menulis naskah berita untuk didengar (dengan telinga) dan menulis untuk dibaca (dengan mata). Narasi berita televisi yang baik memiliki awal (pembuka), pertengahan, dan akhir (penutup). Masing-masing bagian ini memiliki maksud tertentu.
1.Pembuka (Lead). Setiap naskah berita membutuhkan suatu pengait (hook) atau titik awal, yang memberikan fokus yang jelas kepada pemirsa. Awal dari tulisan memberitahu pemirsa tentang esensi atau pokok dari berita yang mau disampaikan. Hal ini memberi suatu fokus dan alasan pada pemirsa untuk tertarik dan mau menyimak berita yang akan disampaikan.
2.Pertengahan (Body). Karena semua rincian cerita tak bisa dijejalkan di kalimat-kalimat pertama, cerita dikembangkan di bagian pertengahan naskah. Bagian tengah ini memberi rincian dari Lead dan menjawab hal-hal yang ingin diketahui oleh pemirsa. Untuk memudahkan pemirsa dalam menangkap isi berita, sebaiknya kita membatasi diri pada dua atau tiga hal penting saja di bagian tengah ini.
3.Akhir (Ending). Jangan akhiri naskah berita tanpa kesimpulan. Rangkumlah dengan mengulang butir terpenting dari berita itu, manfaatnya bagi pemirsa, atau perkembangan peristiwa yang diharapkan akan terjadi.

Selasa, 19 Mei 2009

KERINDUAN TANPA BATAS

Gadis berbaju kelam

Kerinduan tanpa batas menghantui hari-hariku menembus
alam dimensi pikiran ku…….
Kerinduan tanpa batas membawaku jatuh ke garis titik nadir
kehidupan ini….

Sepatah kata rindu yang terucap dari suara hati ku terbawa oleh angin malam dalam mimpi indah mu…..

Semakin berulang kali kata rindu terucap dalam benak ku,
semakin aku terbangun memikirkan mu….

Rasa rindu ini berkecamuk dalam sanubari ini membuat raga ini tak berdaya melawan bayang – bayang wajah mu yang selalu mengikuti ku….

Semakin hari rasa kerinduan ini merusak sayap-sayap patahku, Semakin aku terbang jauh ke langit ketujuh lalu jatuh terhempas kehadapanmu…

Sebuah kata rindu yang tidak dapat dilukiskan oleh seribu bait-bait syair seorang pujangga tanpa nama….

sebuah kata rindu yang tidak dapat diukir oleh seribu pahatan seorang seniman tanpa nama……………

biarlah senandung kisah rindu ini menemani khayalan ku…..
saat aku berbicara pada dinding – dinding kamar menyebut nama mu selalu…

केरिन्दुँ दान CINTA


Waktu itu kiat dekat
Dimana aku harus memilih untuk kembali atau menetap
Dimana aku harus berpisah orang yang lama kurawat

Tangisan berderai terbayang jika waktu datang
Sama hal nya pagi ini kondisimu yang membuatku kalap
Tiada anak atau keponakan kala aku memebutuhkan
Hanya aku ,aku dan only aku yang selalu bersamamu..

Bunda..
Aku cinta padamu melebihi cintamu padaku
Tak harap diri kau mederita lama lagi..
Ah mengapa tak dirasakan mereka deritamu
Pernah kuceritakan akan segala jeritanmu tiap malam
Tak pernah terdengarkan oleh telinga mereka
Pernahkah mereka berpikir apa yang bundanya inginkan

Bunda
Di saat waktu yang kian dekat
Aku masih berharap agar engkau mendapatkan hidayah
Untuk mengenal pencipta dan TuhanMU..
Setitik harapku ini akankah kenyataan ?
Hanya padaMU kuserahkan ya Tuhan


Melupakanmu?
Tak semudah ku bohongi baitku..

Melupakan kenangan itu?
Tak semudah kudelete postinganku?

Melupakan warnamu?
Tak semudah aku mencari warna baru!

Melupakan keindahanmu!
Perlu banyak waktu yang kutempuh!
Dan itu belumlah pasti bayang itu semuanya terhapus..

Malam malam yang kumiliki...
Angin yang selalu datang mengabariku
Salamkan sebait rinduku pada awan..
Yang senja itu tak lagi nampak karna kabut hitam

Yah...Hamparan awan biru
Yang selalu menjadi inspirasiku
Karena birumu meneduhkanku

JURNALIS STRINGER


Kalau kita coba tengok dictionary untuk mencari arti kata "stringer", di situ akan ditemukan berbagai arti. Mulai dari "pengupas", "balok", sampai pada arti yang berhubungan dengan media massa. "Stringer", dalam lingkup dunia jurnalistik, dimaksudkan sebagai wartawan lepas atau pencari berita yang bekerja untuk sebuah media tertentu--biasanya kantor-kantor berita asing.

Jika mengacu pada kantor-kantor berita asing yang ada di Indonesia, tentu perhatian kita otomatis akan lari pada Reuters, AFP dan Jiji Press. Namun bukan berarti di media-media massa lain tidak mempekerjakan seorang stringer, hanya saja profesi ini terasa lebih dibutuhkan di kantor-kantor berita asing.

Sekarang mari kita cermati, apa sih yang dinamakan "stringer" tersebut? Stringer adalah seorang wartawan lepas, yang bekerja secara lepas di sebuah media massa tertentu. Tapi fungsinya lebih dari sekedar seorang mahasiswa jurnalistik yang bekerja part-time di sebuah media, karena seorang stringer idealnya diharapkan memiliki spesialisasi di bidang berita tertentu. Misalnya di bidang politik, bidang sosial budaya, bidang ekonomi dan sebagainya. Seorang stringer juga diharapkan memiliki jaringan dan kontak yang luas di bidang berita yang dikuasainya tersebut, hal mana yang tentunya sangat jarang dimiliki oleh seorang mahasiwa part-time yang bekerja sebagai reporter di sebuah media massa tertentu.

Ruang lingkup kerja seorang sringer adalah mengumpulkan sebanyak-banyaknya berita berkualitas yang terjadi di bidang berita yang dikuasainya tersebut, untuk kemudian dilaporkan pada media tempatnya bekerja. Sebagai contoh: seorang stringer yang ditempatkan di desk politik, dimana dia diharapkan memiliki pengetahuan, jaringan dan kontak yang luas di bidang tersebut, yang membuatnya lebih mudah menembus sumber-sumber yang berkaitan dengan berita-berita politik yang masih hangat. Stringer di desk politik ini diharapkan menjadi garda terdepan bagi berita-berita politik yang sedang hangat, semisal demonstrasi mahasiswa/ karyawan/ buruh, pemecatan seorang pejabat, berita-berita korupsi atau penggelapan dana, dan lain sebagainya.

Begitu juga dengan seorang stringer yang ditempatkan di desk kriminal, dimana dia diharapkan sebagai "orang yang pertama kali tahu" mengenai kasus-kasus kriminal yang terjadi di sekitarnya: pembunuhan, pemerkosaan, perampokan dan lain-lain. Hal yang sama terjadi pada stringer untuk desk ekonomi, sosial budaya, dan lain sebagainya.

Karena harapan yang dibebankan di pundaknya tersebut, seorang stringer biasanya datang dari kalangan reporter resmi sebuah media massa, yang bekerja dobel sebagai seorang stringer di media lainnya. Karena itu, tidak heran bila profesi ini tidak memiliki ikatan resmi yang diikuti oleh hal-hal seperti pengangkatan sebagai karyawan tetap, karena sifatnya yang "undercover". Kebanyakan stringer yang ada di kantor-kantor berita asing, biasanya sudah memiliki "jam terbang" cukup tinggi sebagai reporter, plus jaringan cukup luas dalam bidang berita yang dipegangnya.

Deskripsi kerja seorang stringer biasanya sebagai berikut: mencari dan mengumpulkan berita, untuk kemudian dilaporkan pada media tempat ia bekerja sebagai seorang stringer melalui telepon. That's it. Cukup simpel bukan? Namun di beberapa media, seorang stringer juga diharapkan menulis berita yang didapatnya di lapangan, seperti kantor pusat Jiji Press di Singapura, misalnya.

Seorang stringer dibayar berdasarkan berita yang didapatnya di lapangan. Bila dalam satu hari ia mendapatkan 3-4 berita eksklusif atau layak muat, sebanyak itulah ia akan dibayar. Mengenai berapa penghargaan yang didapat untuk satu berita, tidak terdapat jumlah yang saklek yang berlaku di seluruh media atau kantor berita yang mempekerjakan seorang stringer. Hal ini sangat relatif, tergantung di media mana ia bekerja. Untuk kantor berita asing, stringer ada yang dibayar dengan dolar, tapi ada juga yang dijumlahkan dalam rupiah. Menurut sumber kami, biasanya, bila ditarik garis rata-rata, untuk satu berita yang layak muat, dihargai sekitar Rp. 200-000 sampai Rp. 300.000. Itu untuk stringer yang sudah senior. Untuk yang masih merintis atau masih baru, tentunya di bawah jumlah tersebut.

Selasa, 17 Maret 2009

Pengantar ke Peliputan Investigatif (Investigative Reporting)

Apakah yang dimaksud dengan pelaporan investigatif (investigative reporting)? Secara sederhana, peliputan investigatif adalah praktik jurnalisme, yang menggunakan metode investigasi dalam mencari informasi.

Karakter dari berita investigatif adalah: (1) merupakan produk kerja asli jurnalis bersangkutan, bukan hasil investigasi dari sebuah instansi pemerintah atau nonpemerintah; (2) mengandung informasi yang tidak akan terungkap tanpa usaha si jurnalis; dan (3) berkaitan dengan kepentingan publik.[1]

Dari mana munculnya jurnalisme investigatif ini? Di Amerika Serikat, istilah investigative reporting tampaknya mulai populer pada tahun 1975, ketika di Columbia didirikan Investigative Reporters and Editors Inc. Namun, bicara tentang sejarah kemunculan jurnalisme investigatif, tampaknya harus dimulai dari kemunculan apa yang dinamakan muckraking journalism.

Muckraking journalists adalah julukan yang diberikan pada jurnalis Amerika, yang menggunakan suratkabar tempat ia bekerja sebagai sarana untuk menggugat ketidakadilan, mengungkap kesewenang-wenangan (abuses), dan menyebarkan informasi tentang berbagai penyimpangan yang terjadi kepada masyarakat umum.[1]

Istilah ini dipopulerkan pada akhir 1800-an, ketika sejumlah jurnalis Amerika mulai mengambil jarak dari bentuk pelaporan berita peristiwa biasa. Sebagai gantinya, mereka mulai melakukan investigasi dan menulis tentang tokoh dan organisasi ternama. Dengan semangat untuk mengungkap korupsi di kalangan bisnis dan politik, para jurnalis ini membantu meningkatkan kesadaran publik terhadap berbagai penyakit sosial, ekonomi, dan politik.

Pengertian "jurnalis" dalam konteks muckraking journalists di sini tidak terbatas pada reporter suratkabar, seperti yang kita kenal sekarang, tetapi juga mencakup novelis dan kritikus.

Karya para jurnalis ini akhirnya menghasilkan sejumlah reformasi dan perubahan legislatif. Artikel-artikel mereka di majalah, pada awal 1900-an, mengungkapkan praktik-praktik korupsi di beberapa sektor bisnis dan perusahaan asuransi jiwa. Hal itu mendorong terwujudnya tindakan-tindakan yang krusial terhadap undang-undang bahan makanan murni dan peraturan antimonopoli. Artikel-artikel tersebut bisa dibilang telah mengubah peran jurnalis dalam masyarakat.

Para jurnalis ini menyelidiki dan mengungkap isu-isu sosial, seperti kondisi di permukiman kumuh, penjara, pabrik, rumah sakit jiwa, pertambangan, bengkel kerja, buruh anak, dan kondisi yang tidak bersih di pabrik-pabrik pengolahan makanan. Muckraking journalists sering menulis tentang orang yang menjadi miskin akibat ketidakberesan sistem sosial, dan menggugat lembaga-lembaga yang sudah mapan dalam masyarakat.

Tak jarang, gugatan itu diekspresikan dengan cara sensasional. Tidak heran jika mereka dituding sebagai kaum sosialis, bahkan komunis. Pada awal 1900-an, mereka mengangkat isu-isu sosial itu dengan menulis buku dan artikel di majalah populer dan suratkabar, seperti Cosmopolitan, The Independent, dan McClure's.

McClure's atau McClure's Magazine adalah majalah bulanan Amerika, yang populer pada peralihan abad ke-20. Didirikan oleh S.S. McClure dan John Sanborn Phillips pada 1893, majalah ini dianggap sebagai pencipta muckraking journalism.

Di majalah ini, pada tahun 1902, muncul rangkaian laporan karya Ida Tarbell, yang menyingkap kesewenang-wenangan praktik monopoli perusahaan minyak Standard Oil Company, milik John D. Rockefeller. Juga, muncul karya Ray Stannard Baker, yang membuat masyarakat menyorot keras perilaku perusahaan United States Steel Corporation. Majalah McClure's ini bisa dibilang telah membantu membentuk "kompas moral" pada zamannya.[3]

Sebutan muckraker kini juga ditujukan pada jurnalis masa sekarang, yang mengikuti tradisi lama tersebut. Mereka sekarang meliput topik-topik seperti: klaim-klaim yang bersifat penipuan dari perusahaan pembuat obat berpaten; perbudakan zaman modern; prostitusi anak; pornografi anak; dan peredaran narkoba.

Beberapa contoh dari jurnalis muckraker kontemporer adalah:[4]

•·Wayne Barrett, jurnalis investigatif, redaktur senior the Village Voice. Ia menulis tentang perilaku Rudy Giuliani sebagai Walikota New York City, dalam bukunya Grand Illusion: The Untold Story of Rudy Giuliani and 9/11 (2006).

•·Amy Goodman, jurnalis, host di radio Pacifica Network, dengan programnya yang dinamai Democracy Now!

•·Seymour Hersh, jurnalis yang terkenal dengan laporannya tentang pembantaian My Lai (era Perang Vietnam), program senjata nuklir Israel, profil Menteri Luar Negeri AS Henry Kissinger, invasi Amerika ke Irak tahun 2003, dan penyiksaan terhadap para tahanan Irak oleh tentara AS di penjara Abu Ghraib.

•·Michael Moore, pembuat film dokumenter, sutradara film Roger and Me, Bowling for Columbine, Fahrenheit 911, dan SiCKO

•·John Pilger, koresponden perang yang sudah memenangkan berbagai penghargaan, pembuat film, dan pengarang buku.

•·Bob Woodward dan Carl Bernstein, jurnalis suratkabar Washington Post, yang mengungkap skandal Watergate; pengarang buku All the President's Men, yang menceritakan rincian pengungkapan skandal itu.

•· Dan lain-lain, yang tak bisa disebutkan satu-persatu.

Di Indonesia, yang dianggap menjadi pelopor jurnalisme investigatif adalah Suratkabar Indonesia Raya, di bawah pimpinan Mochtar Lubis. Antara tahun 1969 sampai 1972, suratkabar itu gencar membongkar kasus-kasus korupsi di perusahaan minyak negara, Pertamina.

Pada periode 1990-an, majalah dwi-mingguan Tajuk memposisikan diri sebagai majalah investigasi. Sedangkan majalah berita mingguan Tempo, sesudah sempat dibreidel oleh rezim Soeharto pada 21 Juni 1994, juga memunculkan rubrik khusus investigasi, ketika majalah itu terbit lagi pada 1998.[5]

Tiga Bentuk Jurnalisme Investigatif

Sesudah praktik jurnalisme investigatif semakin matang, ada beberapa bentuknya yang dapat kita kenali. Menurut Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, setidaknya ada tiga bentuk yang bisa kita bedakan. Yaitu: pelaporan investigatif orisinal, pelaporan investigatif interpretatif, dan pelaporan terhadap investigasi.[6]

Pelaporan investigatif orisinal (original investigative reporting):

Pelaporan investigatif orisinal melibatkan reporter itu sendiri dalam mengungkap dan mendokumentasikan berbagai aktivitas subjek, yang sebelumnya tidak diketahui oleh publik. Ini merupakan bentuk pelaporan investigatif, yang sering berujung pada investigasi publik secara resmi, tentang subjek atau aktivitas yang semula diselidiki dan diungkap oleh jurnalis. Ini adalah contoh klasik, di mana pers mendesak lembaga publik (pemerintah), atas nama publik.

Dalam melakukan investigasi, jurnalis mungkin menggunakan taktik-taktik yang mirip dengan kerja polisi. Seperti, penggunaan tenaga informan, pemeriksaan catatan/data publik, bahkan --dalam situasi tertentu-- pemantauan aktivitas dengan sembunyi-sembunyi dan penggunaan penyamaran.

Dalam pelaporan investigatif orisinal di era modern sekarang, kekuatan analisis komputer sering menggantikan observasi personal para reporter.

Pelaporan investigatif interpretatif (interpretative investigative reporting):

Jenis pelaporan investigatif interpretatif juga menggunakan keterampilan yang sama, seperti pada pelaporan investigatif orisinal, namun menempatkan interpretasi (penafsiran) pada tingkatan yang berbeda.

Perbedaan mendasar antara keduanya adalah, pada pelaporan investigatif orisinal, si jurnalis mengungkapkan informasi, yang belum pernah dikumpulkan oleh pihak lain manapun. Tujuannya adalah memberitahu publik tentang peristiwa atau situasi, yang mungkin akan mempengaruhi kehidupan mereka.

Sedangkan, pelaporan interpretatif berkembang sebagai hasil dari pemikiran dan analisis yang cermat, terhadap gagasan serta pengejaran fakta-fakta yang diikuti, untuk memadukan semua informasi itu dalam konteks yang baru dan lebih lengkap. Dengan cara ini, diharapkan bisa memberi pemahaman yang lebih mendalam pada publik.

Pelaporan interpretatif ini biasanya melibatkan seperangkat fakta dan isu-isu yang lebih kompleks, ketimbang sekadar pengungkapan biasa. Pelaporan interpretatif ini menyajikan cara pandang yang baru terhadap sesuatu, serta informasi baru tentangnya.

Pelaporan terhadap investigasi (reporting on investigations):

Pelaporan terhadap investigasi adalah perkembangan terbaru dari jurnalisme investigatif, yang semakin biasa dilakukan. Dalam hal ini, pelaporan berkembang dari temuan awal atau bocoran informasi, dari sebuah penyelidikan resmi yang sudah berlangsung atau yang sedang dipersiapkan oleh pihak lain, biasanya oleh badan-badan pemerintah.

Pelaporan terhadap investigasi bisa terjadi, manakala penyelidik resmi sedang bekerja. Penyelidik dari pihak pemerintah bekerjasama secara aktif dengan jurnalis pada kasus-kasus tertentu, karena sejumlah alasan. Seperti: untuk mempengaruhi anggaran derma (dari negara bagian)[7], untuk mempengaruhi saksi-saksi potensial, atau untuk membentuk opini publik.

Contohnya, sebagian besar dari pelaporan tentang perselingkuhan Presiden Bill Clinton dengan Monica Lewinsky sebenarnya adalah hasil investigasi, yang dilakukan kantor Penuntut Independen Kenneth Star, ditambah dengan informasi tandingan yang dibocorkan oleh pihak Gedung Putih atau para pengacara terkait.

Bandingkan dengan pelaporan investigatif skandal Watergate pada 1972, yang dilakukan jurnalis Washington Post, Bob Woodward dan Carl Bernstein. Sebagian besar hasil penyelidikan kasus tersebut, khususnya pada bulan-bulan awal yang kritis, adalah murni hasil kerja investigatif orisinal para jurnalis.

Mereka bicara langsung pada para narasumber utama tentang apa yang terjadi, bukan bicara pada tim penyidik resmi tentang apa yang mereka teorikan sudah terjadi. Skandal Watergate[8] ini kemudian berujung pada jatuhnya pemerintahan Presiden Richard Nixon.

Seorang jurnalis investigatif mungkin menghabiskan waktu yang cukup lama untuk riset dan menyiapkan laporannya, kadang-kadang bisa berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Sementara reporter harian atau mingguan biasa menuliskan berita-berita yang bisa dimuat segera. Laporan akhir seorang jurnalis investigatif biasanya berupa suatu pengungkapan kasus.

Langkah-langkah investigasi ini sering menuntut si reporter untuk melakukan banyak wawancara terhadap berbagai sumber, serta bepergian ke banyak lokasi. Tak jarang, reporter juga harus melakukan aktivitas seperti: pengintaian, analisis dokumen, menyelidiki kinerja peralatan yang terkait dengan suatu kecelakaan, dan sebagainya.

Jurnalisme investigatif menuntut kecermatan dalam detail (rincian), penemuan fakta, dan upaya fisik. Seorang jurnalis investigatif harus memiliki pikiran yang analitis dan tajam, dengan motivasi diri yang kuat untuk terus berupaya, ketika semua pintu informasi ditutup, ketika fakta-fakta dikaburkan atau dipalsukan, dan seterusnya.

Beberapa cara yang bisa digunakan jurnalis untuk menemukan fakta:

•· Mempelajari sumber-sumber yang sering diabaikan, seperti arsip, rekaman pembicaraan telepon, buku alamat, catatan pajak, dan perizinan.

•· Bicara kepada warga di lingkungan sekitar.

•· Menggunakan sumber riset berlangganan (di internet).

•· Sumber-sumber anonim. Misalnya, orang dalam yang membocorkan informasi (whistleblowers).

•· Melakukan penyamaran.

Jurnalisme investigatif dapat dibedakan dengan pelaporan analitis (analytical reporting). Jurnalisme analitis memanfaatkan data yang tersedia dan mengatur ulang data tersebut, sehingga membantu kita dalam mempertanyakan suatu situasi atau pernyataan, atau memandangnya dengan cara yang berbeda. Sedangkan, jurnalis investigatif bergerak lebih jauh dari sekadar pelaporan analitis, serta ingin mengetahui apakah situasi yang dihadapkan pada kita itu adalah benar-benar realitas.

Jurnalisme investigatif juga dapat dibedakan dengan pelaporan mendalam (indepth reporting). Indepth reporting merupakan suatu laporan mendalam terhadap suatu obyek liputan, biasanya yang menyangkut kepentingan publik, agar publik betul-betul memahami obyek tersebut.

Namun, berbeda dengan peliputan investigatif, indepth reporting tidak memfokuskan diri pada penyingkapan suatu kejahatan, kesalahan, penyimpangan, atau kejahatan tersembunyi, yang dilakukan pihak tertentu. Sifat indepth reporting lebih pada memberi penjelasan pada publik. Sementara proses pencarian informasinya sendiri juga tidak menuntut dilakukannya investigasi, karena boleh jadi informasi itu bersifat terbuka dan mudah diakses.

Sedangkan pelaporan investigatif berasumsi bahwa ada sesuatu yang salah, atau ada suatu pihak yang telah berbuat salah. Kesalahan yang sengaja disembunyikan atau belum terkuak itulah yang menjadi target peliputan investigatif.

Gaji Wartawan Indonesia; Liputan Lebih Menjanjikan Daripada Gaji Bulanan Dari Perusahaannya!

Wartawan (jurnalis) masih dianggap pekerjaan profesional yang bukan tergolong sebagai buruh atau "pekerja biasa". Banyak yang tidak sepakat dan keras mendebat, ketika profesi wartawan diidentikkan dengan kaum buruh yang konotasi umumnya selalu tertindas, menerima upah rendah dan kesejahteraannya "payah".

Padahal, sejak awal Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menggolongkan wartawan tak ubahnya sebagai buruh karena secara reguler bekerja untuk mendapatkan gaji dan pendapatan yang layak bagi penghidupannya.

Menurut Adi Prinantyo, wartawan Kompas yang juga Divisi Serikat Pekerja AJI Indonesia, para jurnalis itu berbeda ciri dengan "pekerjaan" profesi seperti dokter praktek, tukang ojek, atau petani yang memiliki lahan dan menguasai alat produksi.

Jurnalis tak jauh beda dengan buruh pabrik dan petani penggarap yang tidak menguasai alat produksi, tapi bergantung pada pemilik alat produksi (pengusaha media).

Umumnya jurnalis/wartawan itu bekerja pada perusahaan media tertentu dan mendapatkan upah dari pekerjaannya, sehingga sangat jelas mencirikan sebagai pekerja atau buruh.

Kepentingan pekerja adalah mendapatkan upah yang layak, terdiri dari gaji dan tunjangan serta memperoleh kondisi kerja yang memadai (waktu kerja, sarana kesehatan dan keselamatan kerja maupun aturan di tempat kerja).

Menurut Dewan Pers, saat ini tersebar 829 buah media cetak, 2.000-an stasiun radio, dan 65 stasiun televisi. [media online???]

Namun hanya 249 perusahaan media cetak yang berkualitas atau hanya 30 persen, sementara media elektronik yang layak bisnis hanya 10 persen. Survai AJI pada 2005, di Indonesia masih ada media yang menggaji jurnalisnya Rp200 ribu per bulan, sebuah angka yang masih jauh dari upah minimum yang ditetapkan pemerintah.

Menurut survai AJI Jakarta 2006, upah layak minimum jurnalis Jakarta sebesar Rp 3,1 juta. Padahal realitasnya "jauh panggang dari api", karena fakta menunjukkan masih banyak jurnalis bergaji rendah.

Bahkan di Lampung, diperkirakan cukup banyak jurnalis nyaris tidak bergaji atau hanya mengandalkan kartu pers (ID Card) wartawan yang dimiliki untuk mendapatkan penghasilan dari sumber berita dan pihak lain.

Hasil survai AJI mengenai keadaan media pers dan kehidupan para wartawannya di 17 kota besar yang hampir seluruhnya ibukota provinsi menunjukkan wartawan, dan perusahaan pers, pada umumnya masih berada dalam posisi yang kurang beruntung.

Sejumlah 29,1 persen wartawan yang berpendidikan S1 masih bergaji di bawah Rp1 juta sebulan, sedangkan menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pekerja berpendidikan S1 pada tahun 2003 memperoleh gaji rata-rata Rp 1,48 juta.

Tenaga profesional, menurut BPS, rata-rata bergaji Rp1,1 juta sebulan, sedangkan 34 persen wartawan bergaji di bawah Rp1 juta. Lebih mengenaskan, masih ada wartawan yang gajinya kurang dari Rp200.000 sebulan, walaupun hanya 1,5 persen dari jumlah wartawan yang disurvai.

Tapi jauh lebih banyak lagi wartawan yang gajinya kurang dari rata-rata upah minimum setempat, yaitu 11,5 persen. Wartawan yang memperoleh gaji kurang dari Rp1.800.000, suatu jumlah yang tetap tidak akan cukup untuk dapat menghidupi seluruh keluarga secara memadai, berjumlah 64,3 persen dari yang disurvai.

Akibatnya, 20 persen wartawan yang disurvai harus memiliki pekerjaan sampingan, yang di antaranya dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan profesinya sebagai wartawan.

Malahan, 61,3 persen menganggap pemberian "amplop" (umumnya berupa uang) oleh narasumber atau subjek berita kepada wartawan dapat diterima jika gaji dan jaminan kesejahteraan tidak dapat mencukupi keperluan hidup mereka bersama keluarganya.

"Ibaratnya, wartawan Indonesia itu seperti hasil survei AJI Indonesia itu yang umumnya besar di luar tapi kecil di dalam perusahaan sendiri," kata Atmakusumah Astraatmadja, pengajar Lembaga Pers Dr Soetomo (LPDS) dan Ketua Dewan Pengurus Voice of Human Rights (VHR) News Centre.

Di Lampung, menurut pengakuan beberapa wartawan media mingguan termasuk salah satu harian setempat, masih ada wartawan nyaris tidak bergaji atau hanya mengandalkan kartu pers yang dimiliki untuk memperoleh penghasilan dari profesinya.

"Untung banyak narasumber tidak pelit, sehingga setiap kali selesai wawancara, mengikuti suatu acara atau beritanya dimuat, mereka memberikan imbalan berupa uang transport yang jumlah bervariasi," tutur salah satu wartawan.

Dia bahkan menyebutkan, nilai nomimal uang yang diterima dari "orang luar" (berupa amplop) itu justru lebih besar dibandingkan yang didapatkan dari kantor medianya sendiri.

Padahal Kode Etik Jurnalistik Wartawan--PWI, AJI atau KEWI--memberikan pedoman bahwa wartawan tidak dibolehkan (AJI: haram!) menerima amplop atau pemberian berupa materi dan fasilitas lain dari narasumber maupun pihak lain berkaitan dengan pemberitaan serta profesi yang dijalankan.

Atmakusumah juga mengingatkan adanya panduan Dewan Pers pada 11 Oktober 2001 tentang "Mengatasi Penyalahgunaan Profesi Wartawan" yang menjelaskan: "Masyarakat tidak perlu memberikan imbalan (dikenal sebagai "uang amplop") kepada wartawan yang mewawancarai atau meliput.

Menurut Atmakusumah, dengan tidak memberikan "amplop" (dalam konferensi pers atau seusai wawancara), berarti masyarakat turut membantu upaya menegakkan etika wartawan serta berperan dalam memberantas praktik penyalahgunaan profesi wartawan.

Berkaitan dengan peringatan Hari Buruh Internasional pada 1 Mei 2007, AJI Indonesia bersama perwakilan AJI di daerah-daerah--termasuk yang tergabung dalam Aliansi Buruh Menggugat (ABM)--ikut turun ke jalan untuk bersama-sama menyuarakan tuntutan upah yang layak bagi jurnalis, seperti pula upah layak bagi kaum buruh dan pekerja umumnya.

AJI juga mengimbau para wartawan untuk berserikat dan berorganisasi di perusahaan masing-masing untuk dapat memperjuangkan hak-haknya. Pada kenyataanya, jurnalis juga sebagai buruh yang nasibnya masih belum secerah yang diharapkan, karena upahnya masih jauh dari layak dibandingkan dengan upah jurnalis di Malaysia atau Thailand, apalagi dengan para jurnalis di negara maju.

"Gaji jurnalis Indonesia hanya seperempatnya. Karena itu, kami akan menuntut gaji yang layak," kata Koordinator Divisi Serikat Pekerja AJI Jakarta, Winuranto Adhi. Kelayakan gaji bagi wartawan akan berpengaruh terhadap proses dan hasil pekerjaannya yang dituntut oleh masyarakat selalu benar, objektif, faktual, berimbang dan bermanfaat bagi publik.

Bagaimana akan muncul sosok wartawan yang profesional, beretika, independen dan kritis, kalau "tak bergaji" layak dan setiap hari terus menggantungkan harapan pendapatan dari pihak lain yang bisa "mengatur" pemberitaan yang akan dibuat? yah sebut saja mereka BODREXlah...