Selasa, 17 Maret 2009

Gaji Wartawan Indonesia; Liputan Lebih Menjanjikan Daripada Gaji Bulanan Dari Perusahaannya!

Wartawan (jurnalis) masih dianggap pekerjaan profesional yang bukan tergolong sebagai buruh atau "pekerja biasa". Banyak yang tidak sepakat dan keras mendebat, ketika profesi wartawan diidentikkan dengan kaum buruh yang konotasi umumnya selalu tertindas, menerima upah rendah dan kesejahteraannya "payah".

Padahal, sejak awal Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menggolongkan wartawan tak ubahnya sebagai buruh karena secara reguler bekerja untuk mendapatkan gaji dan pendapatan yang layak bagi penghidupannya.

Menurut Adi Prinantyo, wartawan Kompas yang juga Divisi Serikat Pekerja AJI Indonesia, para jurnalis itu berbeda ciri dengan "pekerjaan" profesi seperti dokter praktek, tukang ojek, atau petani yang memiliki lahan dan menguasai alat produksi.

Jurnalis tak jauh beda dengan buruh pabrik dan petani penggarap yang tidak menguasai alat produksi, tapi bergantung pada pemilik alat produksi (pengusaha media).

Umumnya jurnalis/wartawan itu bekerja pada perusahaan media tertentu dan mendapatkan upah dari pekerjaannya, sehingga sangat jelas mencirikan sebagai pekerja atau buruh.

Kepentingan pekerja adalah mendapatkan upah yang layak, terdiri dari gaji dan tunjangan serta memperoleh kondisi kerja yang memadai (waktu kerja, sarana kesehatan dan keselamatan kerja maupun aturan di tempat kerja).

Menurut Dewan Pers, saat ini tersebar 829 buah media cetak, 2.000-an stasiun radio, dan 65 stasiun televisi. [media online???]

Namun hanya 249 perusahaan media cetak yang berkualitas atau hanya 30 persen, sementara media elektronik yang layak bisnis hanya 10 persen. Survai AJI pada 2005, di Indonesia masih ada media yang menggaji jurnalisnya Rp200 ribu per bulan, sebuah angka yang masih jauh dari upah minimum yang ditetapkan pemerintah.

Menurut survai AJI Jakarta 2006, upah layak minimum jurnalis Jakarta sebesar Rp 3,1 juta. Padahal realitasnya "jauh panggang dari api", karena fakta menunjukkan masih banyak jurnalis bergaji rendah.

Bahkan di Lampung, diperkirakan cukup banyak jurnalis nyaris tidak bergaji atau hanya mengandalkan kartu pers (ID Card) wartawan yang dimiliki untuk mendapatkan penghasilan dari sumber berita dan pihak lain.

Hasil survai AJI mengenai keadaan media pers dan kehidupan para wartawannya di 17 kota besar yang hampir seluruhnya ibukota provinsi menunjukkan wartawan, dan perusahaan pers, pada umumnya masih berada dalam posisi yang kurang beruntung.

Sejumlah 29,1 persen wartawan yang berpendidikan S1 masih bergaji di bawah Rp1 juta sebulan, sedangkan menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pekerja berpendidikan S1 pada tahun 2003 memperoleh gaji rata-rata Rp 1,48 juta.

Tenaga profesional, menurut BPS, rata-rata bergaji Rp1,1 juta sebulan, sedangkan 34 persen wartawan bergaji di bawah Rp1 juta. Lebih mengenaskan, masih ada wartawan yang gajinya kurang dari Rp200.000 sebulan, walaupun hanya 1,5 persen dari jumlah wartawan yang disurvai.

Tapi jauh lebih banyak lagi wartawan yang gajinya kurang dari rata-rata upah minimum setempat, yaitu 11,5 persen. Wartawan yang memperoleh gaji kurang dari Rp1.800.000, suatu jumlah yang tetap tidak akan cukup untuk dapat menghidupi seluruh keluarga secara memadai, berjumlah 64,3 persen dari yang disurvai.

Akibatnya, 20 persen wartawan yang disurvai harus memiliki pekerjaan sampingan, yang di antaranya dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan profesinya sebagai wartawan.

Malahan, 61,3 persen menganggap pemberian "amplop" (umumnya berupa uang) oleh narasumber atau subjek berita kepada wartawan dapat diterima jika gaji dan jaminan kesejahteraan tidak dapat mencukupi keperluan hidup mereka bersama keluarganya.

"Ibaratnya, wartawan Indonesia itu seperti hasil survei AJI Indonesia itu yang umumnya besar di luar tapi kecil di dalam perusahaan sendiri," kata Atmakusumah Astraatmadja, pengajar Lembaga Pers Dr Soetomo (LPDS) dan Ketua Dewan Pengurus Voice of Human Rights (VHR) News Centre.

Di Lampung, menurut pengakuan beberapa wartawan media mingguan termasuk salah satu harian setempat, masih ada wartawan nyaris tidak bergaji atau hanya mengandalkan kartu pers yang dimiliki untuk memperoleh penghasilan dari profesinya.

"Untung banyak narasumber tidak pelit, sehingga setiap kali selesai wawancara, mengikuti suatu acara atau beritanya dimuat, mereka memberikan imbalan berupa uang transport yang jumlah bervariasi," tutur salah satu wartawan.

Dia bahkan menyebutkan, nilai nomimal uang yang diterima dari "orang luar" (berupa amplop) itu justru lebih besar dibandingkan yang didapatkan dari kantor medianya sendiri.

Padahal Kode Etik Jurnalistik Wartawan--PWI, AJI atau KEWI--memberikan pedoman bahwa wartawan tidak dibolehkan (AJI: haram!) menerima amplop atau pemberian berupa materi dan fasilitas lain dari narasumber maupun pihak lain berkaitan dengan pemberitaan serta profesi yang dijalankan.

Atmakusumah juga mengingatkan adanya panduan Dewan Pers pada 11 Oktober 2001 tentang "Mengatasi Penyalahgunaan Profesi Wartawan" yang menjelaskan: "Masyarakat tidak perlu memberikan imbalan (dikenal sebagai "uang amplop") kepada wartawan yang mewawancarai atau meliput.

Menurut Atmakusumah, dengan tidak memberikan "amplop" (dalam konferensi pers atau seusai wawancara), berarti masyarakat turut membantu upaya menegakkan etika wartawan serta berperan dalam memberantas praktik penyalahgunaan profesi wartawan.

Berkaitan dengan peringatan Hari Buruh Internasional pada 1 Mei 2007, AJI Indonesia bersama perwakilan AJI di daerah-daerah--termasuk yang tergabung dalam Aliansi Buruh Menggugat (ABM)--ikut turun ke jalan untuk bersama-sama menyuarakan tuntutan upah yang layak bagi jurnalis, seperti pula upah layak bagi kaum buruh dan pekerja umumnya.

AJI juga mengimbau para wartawan untuk berserikat dan berorganisasi di perusahaan masing-masing untuk dapat memperjuangkan hak-haknya. Pada kenyataanya, jurnalis juga sebagai buruh yang nasibnya masih belum secerah yang diharapkan, karena upahnya masih jauh dari layak dibandingkan dengan upah jurnalis di Malaysia atau Thailand, apalagi dengan para jurnalis di negara maju.

"Gaji jurnalis Indonesia hanya seperempatnya. Karena itu, kami akan menuntut gaji yang layak," kata Koordinator Divisi Serikat Pekerja AJI Jakarta, Winuranto Adhi. Kelayakan gaji bagi wartawan akan berpengaruh terhadap proses dan hasil pekerjaannya yang dituntut oleh masyarakat selalu benar, objektif, faktual, berimbang dan bermanfaat bagi publik.

Bagaimana akan muncul sosok wartawan yang profesional, beretika, independen dan kritis, kalau "tak bergaji" layak dan setiap hari terus menggantungkan harapan pendapatan dari pihak lain yang bisa "mengatur" pemberitaan yang akan dibuat? yah sebut saja mereka BODREXlah...

Tidak ada komentar: