Senin, 15 September 2008

Kesadaran Baru Tentang Peran Pers

DALAM lima tahun terakhir, ada begitu banyak fakta yang menunjukkan betapa
sulitnya unsur-unsur pemerintah bersikap proporsional terhadap pers. Kritik
pers hampir selalu ditanggapi secara emosional dan reaktif oleh pejabat
pemerintah.
Jika mereka terpojokkan oleh pemberitaan media, berbagai tuduhan balik pun
dilontarkan, pers telah kebablasan, menyebarkan fitnah, mencemarkan nama
baik, tidak nasionalis, dan lain-lain. Jika terjadi sengketa dengan media,
mereka lazim menggunakan kekuatan massa untuk meneror kantor pemberitaan
media, atau menuntut media ke pengadilan dengan mengabaikan mekanisme yang
ada yaitu penggunaan hak jawab dan pengaduan ke Dewan Pers.
Unsur-unsur Pemerintah tampak tidak sensitif terhadap kepentingan besar di
balik praktek-praktek jurnalistik. Bahwa seorang jurnalis menulis berita
bukan hanya atas nama dirinya sendiri, namun juga atas nama kemaslahatan
umum. Praktek-praktek jurnalistik secara faktual bersentuhan langsung dengan
hajat hidup orang banyak: hak-hak publik atas informasi, hak tiap warga
negara untuk mengontrol jalannya pemerintahan. Tanpa pers yang bebas, sulit
membayangkan kelompok marginal: buruh, petani, kaum miskin kota, kelompok
perempuan dan lain-lain dapat mempengaruhi proses-proses pengambilan
kebijakan. Tanpa pers yang bebas, pemerintah juga sulit menangkap realitas
dan aspirasi yang berkembang di masyarakat.
Vonis penjara satu tahun yang dijatuhkan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
terhadap Pemimpin Redaksi majalah Tempo, Bambang Hary Murti beberapa saat
yang lalu kian mempertegas fakta betapa lemahnya apresiasi pemerintah
terhadap signifikansi kebebasan pers. Dalam kasus ini, seorang jurnalis
dipidanakan sebagai konsekuensi dari kerja jurnalistiknya. Pengadilan tak
mempertimbangkan kepentingan umum di balik praktek-praktek pemberitaan, dan
memperlakukan jurnalis layaknya para kriminal yang lain.
FAKTA-fakta itu menunjukkan, hukum belum sepenuhnya melindungi kerja-kerja
jurnalistik. Namun problem yang tak kalah serius terletak pada cara-pandang
unsur-unsur pemerintah dalam melihat fungsi dan kedudukan pers. Zaman sudah
berubah. Kondisi politik sudah jauh lebih terbuka. Namun tidak demikian
dengan persepsi dan ekspektasi kalangan pemerintah terhadap pers.
Belum terjadi transformasi kultural yang membuat orang-orang pemerintah
lebih apresiatif terhadap hak-hak publik atas informasi, perbedaan pendapat,
dan fungsi kritik yang sejauh ini identik dengan praktek kebebasan pers.
Kita patut waspada, jangan-jangan mereka masih memandang pers dengan
paradigma lama, sebagai alat pemerintah. Jangan-jangan alam mereka, masih
bertahan ilusi tentang pers sebagai "mitra" pemerintah, perangkat
pembangunan nasional, perekat kesatuan bangsa dan lain-lain.
Sementara pada saat sama gerakan reformasi di bidang pers justru hendak
dimaknai sebagai transformasi menuju pers yang profesional. Jati-diri pers
profesional kurang-lebih tidak berpihak kepada siapa pun kecuali kepada
kebenaran, tidak menjadi alat siapapun kecuali menjadi alat bagi publik
untuk mengontrol kekuasaan. Pers profesional senantiasa menjaga jarak kepada
siapapun dan berusaha mengembangkan prinsip-prinsip imparsialitas. Pers
profesional senantiasa kritis terhadap keadaan dan peka terhadap segala
bentuk penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).
Reformasi bidang pers juga hendak dimaknai sebagai upaya mengembalikan
urusan publik kepada publik, yang berarti keharusan meminimalisir
campur-tangan pemerintah pada ranah kebebasan bereskpresi dan kebebasan
pers. Lembaga independen seperti Dewan Pers dan KPI lalu akan mengambil-alih
peran pemerintah sebagai regulator atau lembaga kontrol di bidang media dan
penyiaran.
Konservatisme dalam memandang peran pers akan menimbulkan implikasi serius.
Cara pandang itu akan menentukan kebijakan dan keputusan macam apakah yang
hendak diambil pemerintahan baru di bidang pers. Apakah regulasi di bidang
pers akan mencerminkan hukum sebagai medium bagi pemerintah untuk melakukan
kolonisasi terhadap urusan publik (meminjam istilah Habermas)? Atau
sebaliknya, hukum sebagai sistem hak, dimana pengakuan atas hak asasi
manusia dan kedaulatan publik lebih dikedepankan daripada hasrat untuk
mendisiplinkan publik di bawah otoritas tunggal yang dipegang pemerintah?
Kita juga perlu memperhatikan apakah kebijakan pemerintah (termasuk
keputusan lembaga peradilan) di bidang pers menunjukkan bekerjanya
rasionalitas kognitif instrumental, dimana pejabat pemerintah diberi
wewenang menentukan aneka kebijakan secara sepihak. Sebagai mahkluk
rasional-bertujuan, hampir pasti mereka akan bias kepentingan sendiri dalam
merumuskan kebijakan. Apalagi sejauh ini para pejabat pemerintah notabene
mempunyai kompleks tersendiri dalam relasinya dengan pers (anti-kritik,
dendam, paranoid) sehingga sulit diharapkan bisa bersikap jernih dan
obyektif.
Tentu kita berharap kebijakan di bidang pers akan menunjukkan bekerjanya
rasionalitas komunikatif, dimana kebijakan hanya bisa terlahir jika ada
saling pengertian dan persetujuan dari unsur-unsur yang hendak menanggung
konsekuensi-konsekuensi dari pemberlakuan hukum itu. Konsekuensinya,
perumusan kebijakan dilakukan secara transparans, partisipatif dan
memperhatikan kepentingan publik.
PERSEPSI tentang pers sebagai mitra pemerintah atau pemerintah sebagai
pembina kebebasan pers tersirat dalam peran Kementerian Komunikasi dan
Informasi (kominfo). Pemerintahan Megawati bersikeras membentuk Kementerian
Kominfo dengan alasan dibutuhkan PR yang baik untuk menyosialisasikan aneka
program dan keputusan pemerintah.
Namun, akhirnya terlihat Kementerian Kominfo lebih sibuk dengan upaya
mengembalikan otoritas pemerintah di bidang media dan penyiaran yang secara
konstitusional telah dialihkan ke Komisi Penyiaran Indonesia dan Dewan Pers.
Kementerian Kominfo terus mempersoalkan keabsahan KPI sebagai lembaga
regulator penyiaran, serta tidak kooperatif dalam proses realisasi alokasi
dana APBN untuk KPI dan Dewan Pers. Muncul kesan, Kominfo berusaha
memperlemah eksistensi KPI dan Dewan Pers.
Pertanyaannya, apakah konservatisme dalam memandang peranan pers itu akan
dipertahankan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono? Apakah mereka
akan membayangkan dirinya sebagai "pembina" kehidupan pers ?
Kemunculan SBY sebagai tokoh nasional tak lepas dari kontribusi pers. Media
massa adalah faktor determinan dalam mengatrol popularitas SBY. Apa-jadinya
jika beberapa tahun terakhir media tidak mencitrakan SBY sebagai pemimpin
alternatif? Apa jadinya jika media tidak menggunakan figur SBY sebagai
medium kritik atas kinerja pemerintahan Megawati dan Abdurrahman Wahid?
Popularitas SBY mungkin tidak sefenomenal sekarang ini.
Dalam konteks ini, SBY dan pembantunya semestinya menyadari benar bagaimana
pers yang profesional bekerja. Jika dulu pers kritis terhadap pemerintahan
Megawati, wajar jika ke depan pers akan kritis terhadap pemerintahan SBY.
Jika dulu pers menempatkan SBY sebagai figur alternatif dari Megawati, tak
lama lagi pers akan menampilkan figur lain sebagai alternatif dari SBY.
Namun bukan berarti pers tidak memberikan kontribusi apa-apa kepada
pemerintah. Pers akan berperan dalam program pemberantasan korupsi
sebagaimana telah dicanangkan presiden SBY. Pers akan membantu presiden
dalam memantau pelaksanaan kontrak sosial yang telah dibuat para pejabat
tinggi negara. Pers juga akan membantu pemerintah menangkap
realitas-realitas yang berkembang di masyarakat sebagai dasar perumusan
kebijakan-kebijakan publik.

Tidak ada komentar: